TEMPO.CO, Jakarta - Banyak kasus kekerasan yang menimpa pekerja rumah tangga tidak membuat anggota Dewan Perwakilan Rakyat bergerak untuk membahas Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Anggota Komisi Ketenagakerjaan DPR Irma Suryani Chaniago mengatakan sebagian besar anggota parlemen menempatkan diri sebagai majikan, bukan pembuat kebijakan.
Ini yang menjelaskan mengapa sebagian besar fraksi DPR keberatan memasukan RUU Perlindungan PRT dalam Program Legislasi Nasional 2017.
“Mungkin harus ada PRT yang terjun dari Monas dulu, baru masyarakat berpikir harus ada perlindungan PRT. Saya berpikir begitu karena tidak ada sama sekali empatinya, belum ada rasa tanggung jawab moral anggota parlemen sebagai pengambil keputusan,” kata politikus Partai NasDem itu dalam diskusi bertema Kerja Layak bagi PRT dan Penghapusan PRT Anak yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan International Labour Organization (ILO) di Jakarta, Minggu, 14 Agustus 2016.
Irma menyerukan agar masyarakat terus menggedor DPR dan pemerintah untuk membahas RUU Perlindungan PRT. “Kalau diserahin ke DPR saja, tapi pemerintahnya tidak didesak, ya tidak bisa juga,” kata politikus Partai NasDem itu.
Mayoritas fraksi partai di Dewan Perwakilan Rakyat tidak mau menempatkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam Program Legislatif Nasional 2017. Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Lita Anggraini mengatakan hanya Partai NasDem dan Partai Keadilan Sejahtera yang bersedia menerima permintaan audiensi JALA PRT untuk memasukan RUU Perlindungan PRT pada Prolegnas tahun depan.
Di DPR terdapat 10 fraksi, artinya hanya 20 persen partai yang terbuka terhadap masukan perlunya RUU Perlindungan PRT dimasukkan dalam Prolegnas tahun depan. “Kami sampai surati satu fraksi lima kali sebulan, tapi minim balasan,” kata Lita.
Menurut Lita, RUU Perlindungan PRT mendesak untuk disahkan karena tidak ada payung hukum untuk melindungi PRT di dalam negeri. Akibatnya, PRT tidak mendapat pengakuan sebagai pekerja dan tidak mendapatkan hak-haknya. Sampai pertengahan Mei ada 121 kasus kekerasan terhadap PRT. “Ini yang belum terangkat di media, kami tahu itu karena kami mendampingi PRT. Kasusnya macam-macam, kekerasan fisik, psikis, gaji tidak dibayar, dan human trafficking,” kata dia.
Proses hukum kasus PRT juga tidak mudah. Bahkan Lita mengatakan 95 persen kasus kekerasan PRT yang diadukan justru mandeg di kepolisian karena polisi diduga bertransaksi dengan pelaku untuk meredam kasus tersebut. Tahun lalu ada 402 kasus. “Hanya sedikit sekali kasus yang sampai ke pengadilan,” ujarnya.
Salah satunya, Kamis lalu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara terhadap mantan anggota DPR Fanny Safriansyah (Ivan Haz) karena dia terbukti menganiaya tiga pekerja rumah tangga yang bekerja di rumahnya.
Dalam diskusi ini juga diisi dengan testimoni Sri Siti Marni alias Ani, 20 tahun, yang selama sembilan tahun menjadi pekerja rumah tangga sejak usia 11 tahun di Utan Kayu, Jakarta Timur. Dia mengalami kekerasan, penyiksaan, disetrika, disiram air panas, penyekapan, dan sejumlah tindakan yang melawan hukum lainnya dari majikan dan anggota keluarga majikan. Dia kabur setelah tidak tahan disiksa oleh majikannya. Kini majikan Ani, Meta Hasan Musdafidah, menghadapi tuntutan hukum di Pengadilan Negeri Timur. Selain menderita luka fisik, Ani juga tidak digaji.
Capacity Building Officer ILO Jakarta Muhamad Nour menambahkan Indonesia tertinggal ketimbang Filipina dalam hal perlindungan PRT. Sebab, Filipina telah meratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Pekerja yang Layak bagi PRT. “Di Asia Tenggara ada Filipina yang sudah ratifikasi, mereka mengegolkan UU PRT,” ujarnya. Konvensi 189 merupakan konvensi yang menetapkan standar hak-hak dan prinsip dasar bagi negara untuk mewujudkan kerja layak bagi pekerja rumah tangga.
Ia memaparkan ada mitos yang berkembang di pejabat pemerintah bahwa Konvensi 189 itu bertentangan dengan budaya Indonesia. “Padahal, Konvensi ini sangat respek terhadap adat istiadat setempat,” ujarnya.
Untuk mendorong advokasi perlindungan PRT, AJI Jakarta dan ILO hari ini meluncurkan Penghargaan Liputan Jurnalistik Terbaik untuk Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Penghapusan Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia. Lomba jurnalistik untuk mendorong perlindungan PRT ini terbuka untuk jurnalis se-Indonesia dari semua jenis media massa dengan hadiah total Rp 48 juta. Tenggat pengumpulan karya 30 September 2016.
Kepala Penasihat Teknis Proyek Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga ILO Arum Ratnawati mengatakan kendati PRT berperan penting dalam kehidupan masyarakat dan keluarga, mereka belum diakui sebagai pekerja. Mereka masih menghadapi kondisi kerja yang tidak semestinya, seperti jam kerja yang panjang, upah rendah, tanpa hari libur serta rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan.
"Pengakuan PRT sebagai pekerja dan penghapusan PRT anak sejalan dengan Konvensi ILO Nomor 189 mengenai Pekerjaan Layak untuk PRT. Media massa sangat berperan dalam menyuarakan dan mengadvokasi masalah ini guna memastikan pekerjaan layak untuk semua orang, termasuk PRT," kata Arum.
Koordinator Program PRT AJI Jakarta Guruh Dwi Riyanto mengatakan penting bagi jurnalis memberikan bersuara kepada pihak yang tidak mampu bersuara. “PRT mengalami diskriminasi berlapis-lapis dan mereka tidak mampu bersuara untuk kepentingan diri mereka sendiri, sudah seharusnya jurnalis mendorong negara melindungi PRT,” kata dia.
NUR HASIM