TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan koruptor berhak mendapatkan remisi meskipun pidana korupsi termasuk kejahatan yang luar biasa. "Kalau pembunuh saja bisa mendapat remisi, kemudian koruptor tidak bisa diberikan reward padahal sudah disiplin, berkelakuan baik, tentu kami diskriminatif," kata JK di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat, 12 Agustus 2016.
Menurut JK, tujuan pemberian remisi terhadap korupsi adalah agar terpidana memperlihatkan disiplin selama menjalani masa tahanan. Selain itu, sekaligus untuk memberi kesempatan kepada terpidana bertobat dari sisi moral atau berkelakuan baik. "Itulah syarat pemberian remisi," kata dia.
JK mengatakan semua orang yang telah dihukum dan dipenjara, tentu memiliki sisi kemanusiaan. "Kami tidak membedakan lagi, walaupun tentu kami agak berat memberi remisi," kata JK.
Dia mengatakan semua pihak memahami korupsi adalah kejahatan yang besar. Tapi kejahatan narkoba dan pembunuhan juga termasuk kejahatan besar. Kejahatan-kejahatan tersebut mempunyai efek yang besar terhadap negara. Namun, terpidana narkoba dan pembunuhan diberikan remisi. Karena itu, kata dia, semestinya terpidana korupsi juga mendapat remisi jika memunuhi syarat.
"Kami lihat dari sisi kemanusiaan. Kalau dia tobat, berkelakuan baik, makin baik dia punya perilaku, ya, bukan lihat lagi dari sisi apa yang dia buat. Karena ringan-beratnya hukuman kan sudah ada undang-undangnya, sudah ada pengadilannya," kata JK.
Kamis lalu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan terpidana korupsi tidak akan mudah mendapatkan remisi. Alasannya, korupsi termasuk kejahatan luar biasa. "Namanya juga extraordinary crime, memangnya kami tukang kasih-kasih," kata Yasonna di Komplek Istana Kepresidenan, Kamis, 11 Agustus 2016.
Yasonna menilai terpidana korupsi tidak berbeda dengan pelaku terorisme dan bandar narkoba. Tapi mereka mempunyai perbedaan dalam hal remisi dan pembebasan bersyarat. Pemberian remisi dalam draft revisi Peraturan Pemerintah No.99 Tahun 2012, kata Yasonna, jangan sampai bertentangan dengan undang-undang.
Kemenkumham tengah merevisi PP No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP No 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Pembahasan yang menjadi sorotan revisi ini ialah pemberian remisi bagi terpidana koruptor. Keberadaan PP No.99 Tahun 2012 saat ini dianggap bertentangan dengan undang-undang, terutama UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Yasonna berharap revisi PP 99 tersebut tidak menimbulkan diskriminasi terhadap narapidana. Secara prinsip, kata dia, semua pihak yang terlibat dalam pembahasan draft revisi PP setuju dengan tidak adanya diskriminasi. "Nanti akan dilanjutkan lagi bagaimana teknisnya," ucapnya.
AMIRULLAH | ADITYA BUDIMAN