TEMPO.CO, Yogyakarta - Sinar matahari menyengat, tapi sekelompok bocah dengan riang menyeberang pematang sawah menuju bangunan berhiaskan lukisan dinding (mural) di tengah sawah. Mereka tak berseragam sekolah, dan jauh dari heboh tentang sekolah sehari penuh gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru dilantik Muhadjir Effendy.
Semua gembira bermain prosotan, tali temali, dan berlarian di halaman. Aisyah, satu di antara bocah yang menikmati kesejukan alam. Ia memanjat pohon talok rimbun yang membuat teduh bangunan Sanggar Anak Alam. Bocah lainnya, Langit melihat benih bayam merah yang baru ia tanam sepekan yang lalu.”Besok mau dipilih benihnya,” kata Langit, Rabu, 10 Agustus 2016.
Bangunan di tengah sawah yang menempati luas lahan 1000 meter persegi itu adalah Sanggar Anak Alam atau biasa dikenal dengan SALAM. Sekolah alternatif itu berada di Desa Nitiprayan, Kecamatan Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatannya lebih banyak diisi dengan kegiatan bermain.
Ada tiga tempat di sana untuk belajar menulis, membaca, menghitung, menggambar, bernyanyi, menari, dan tentu saja bermain. Bocah-bocah diberi “kemerdekaan” untuk memilih apa yang mereka suka. Misalnya berpetualang, menjahit, fotografi, memasak.
Bangunan Salam berbentuk panggung yang banyak memakai kayu dan bambu. Sekolah ini diperuntukkan bagi anak usia pendidikan anak usia dini, sekolah dasar, dan sekolah menengah pertama. Total siswanya sebanyak 152 dengan 33 orang guru.
Mereka langsung berinteraksi dengan alam. Bocah biasa bermain berkubang dengan lumpur dan berkebun. Anak-anak itu juga sepakat menjaga lingkungan, saling membantu dan bekerja sama. Misalnya saling memberitahu ketika ada tanaman yang rusak karena diinjak. “Pendidikan kami berbasis pada kebutuhan anak. Mengajarkan mereka punya sikap dan kritis dengan cara menyenangkan,” kata penggagas Sanggar Anak Alam, Sri Wahyaningsih.
Menurut Wahya, panggilan akrab Sri Wahyaningsih, Sanggar Anak Alam di Yogyakarta mulai berdiri sejak 2000. Sebelumnya, sekolah alternatif ini dia dirikan di Lawen, Banjarnegara pada 1988. Dia memberikan buku gratis dan mengajari anak-anak Lawen belajar membaca.
Wahya mendirikan sekolah alternatif itu karena frustasi dengan sekolah formal yang tidak menyentuh kebutuhan dasar anak dan lingkungan sekitarnya. “Pendidikan menjadi tidak aplikatif dan hanya sekadar hafalan,” kata dia.
Sanggar Anak Alam bisa bertahan tanpa bantuan pendanaan dari pemerintah maupun penyandang dana. Mereka mengandalkan biaya operasional untuk membayar guru dari uang SPP sebesar Rp 400 ribu. Selain itu, mereka memproduksi makanan organik, shampo dan sabun ramah lingkungan yang dijual di sekitar kampung itu.
Sekolah ini banyak diminati oleh orang tua dari kalangan seniman, dosen, dan dokter. Satu di antaranya adalah perupa Ugo Untoro yang menitipkan anaknya untuk belajar dan bermain di Sanggar Anak Alam.
SHINTA MAHARANI