TEMPO.CO, Jakarta - Sedikitnya kursi untuk Golkar dan PAN di dalam Kabinet Kerja menunjukkan bahwa Presiden Joko Widodo masih memiliki kontrol dan daya tawar tinggi terhadap partai politik.
Namun, menurut Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanudin Muhtadi, situasi itu bisa berbalik apabila Presiden Joko Widodo tidak hati-hati.
"Kalau tidak diatur, ke depannya situasi itu bisa berubah menjadi kartel politik," ujar Burhan dalam diskusi mengenai dampak reshuffle jilid II di Jakarta, Sabtu, 6 Agustus 2016. Kartel politik terjadi di mana elite politik secara terselubung memuluskan kepentingannya.
Sebagaimana diketahui, sejak PAN dan Golkar bergabung ke pihak pemerintah, Presiden Joko Widodo makin berani dalam mengambil kebijakan dan keputusan. Segala keputusannya pun bisa terwujud dengan cepat.
Beberapa di antaranya adalah sahnya UU Tax Amnesty, terpilihnya Tito Karnavian sebagai Kapolri, hingga tertundanya revisi UU Komisi Pemberantasa Korupsi. Hal itu, menurut Burhanudin, tidak akan terjadi apabila tidak ada Golkar dan PAN yang mendukung Jokowi dari parlemen.
Burhan menilai bentuk politik pemerintahan Jokowi akan menjadi berbentuk kartel apabila Presiden tidak bisa menunjukkan kemampuan kontrolnya di hadapan partai-partai pendukungnya.
Sebagai contoh, menjadi terlalu dekat dengan partai politik atau terlalu berkompromi dengan keinginan partai. Nah, tersedianya kursi di kabinet bagi Golkar dan PAN, kata Burhan, sebenarnya salah satu bentuk kompromi, meski kecil.
Jika kontrol terhadap Parpol itu terus melemah, maka ke depannya akan dimanfaatkan partai untuk masuk lebih jauh ke dalam pemerintahan. Dan ketika partai sudah masuk terlalu dalam, perlahan mereka akan mulai mengendalikan kebijakan atau posisi-posisi strategis demi kepentingan pribadi yang seharusnya hanya boleh diatur oleh Jokowi.
"Tanda-tanda dasarnya ada, seperti kekuatan hegemoni di parlemen yang bisa memperlemah cek and ricek. Untungnya, Presiden Joko Widodo belum sepenuhnya diatur. Malah, Golkar dan PAN yang diatur olehnya. Mungkin perlu ada benefit of the doubt (prasangka) juga bahwa memang ada kartel tetapi Presiden Joko Widodo yang mengambil manfaatnya," ujar Burhan.
Hal serupa disampaikan oleh Kepala Pusat Studi Kebijakan Publik UIN Ali Munhanif. Ali menilai reshuffle jilid II kemarin berhasil menjungkirbalikkan anggapan publik di awal pemerintahan bahwa Jokowi hanyalah petugas partai politik.
Namun, Presiden Joko Widodo tetap harus terus waspada, tak terkecuali terhadap PDIP yang menjadi partai asalnya. "Jokowi malah ingin mengambil jarak dengan PDI-P, enggak tahan juga dia dianggap petugas partai," ucap Ali.
ISTMAN MP