TEMPO.CO, Denpasar - Aktivis lingkungan asal Bali, Saras Dewi, menjadi pemateri dalam Kelas Pengembangan Pemikiran Kritis #7, yang diselenggarakan Taman Baca Kesiman (TBK) Denpasar. Dalam pertemuan ini, Saras menyampaikan pembahasan bukunya yang berjudul Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam.
Saras mengatakan ekofenomenologi adalah sebuah perangkat filosofis yang melihat secara kritis relasi manusia dengan alam. "Ekologi melihat permasalahan lingkungan dan fenomenologi aspek filsafat yang ingin menjelaskan pemaknaan reflektif," kata dia di Taman Baca Kesiman, Denpasar, Kamis, 4 Agustus 2016.
Ia menjelaskan, pembahasan ekofenomenologi itu sekaligus meninjau rencana reklamasi Teluk Benoa. Saras menuturkan, berdasarkan kerangka filosofis tersebut, Teluk Benoa adalah tubuh yang berjejaring.
"Di sana ada bangau, ikan, dan semua panorama yang kompleks. Kalau pulau apung Tomy Winata itu dibentuk untuk membuka 300 ribu pekerjaan untuk manusia, bagaimana kehidupan untuk bangau-bangau?" tuturnya.
Perempuan yang juga menjabat Ketua Program Studi Ilmu Filsafat UI itu menuturkan, dalam gerakan perlawanan menolak reklamasi, orang Bali sedang menjadi pelaku sejarah. "Menurut saya, yang terjadi di Bali adalah penalaran publik, juga sikap kritis terhadap kerusakan lingkungan hidup," ujarnya. "Perjuangan menolak reklamasi itu suatu katarsis (penyucian diri)."
Menurut dia, gerakan perlawanan terhadap rencana proyek PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) itu merupakan momentum pencerahan bagi orang Bali. Ia mengatakan, dari perlawanan itu, ada "penggemukan" isi filosofis Tri Hita Karana—tiga penyebab terciptanya kebahagiaan.
"Orang Bali mengenal Tri Hita Karana, tapi ada kekurangan pasokan filosofis, untuk sebuah rekonstruksi dan restorasi. Jadi, kalau berpikir Tri Hita Karana atau Tat Twam Asi, bukan yang di spanduk-spanduk," tutur perempuan yang dikenal sebagai pelantun lagu Lembayung Bali pada 2002 ini.
Istri personel grup band NTRL Choki itu menjelaskan, gelombang penolakan reklamasi Teluk Benoa merupakan upaya mengenal ritual secara kritis. Saras menambahkan bahwa ada sebuah pendobrakan paham lama atau teks kuno yang merujuk pada rekonstruksi tradisi.
"Ketika pariwisata tidak berkelanjutan sehingga menemui puncaknya, kemudian mengalami degradasi. Maka terjadi pergolakan kembali teks kuno (acuan tradisi) yang membentengi alam kita," ucapnya.
BRAM SETIAWAN