TEMPO.CO, Malinau - Delapan belas tahun tinggal di Malinau, Kalimantan Utara, Sugimun tak melupakan asal-usulnya sebagai orang Jawa. Ia datang ke acara silaturahmi anggota dewan dan pejabat pemerintah pusat dengan warga Malinau, Kalimantan Utara, malam kemarin. Sugimun mengenakan baju lurik dan blangkon.
Ia baru melepas blangkonnya saat mengobrol dengan Tempo di depan penginapan Gaharu, samping balai pertemuan umum Malinau. Selama 18 tahun tinggal di Malinau, kata Sugimun, ia mengajar di SMA Negeri 1 Lumbis. “Kami mengajar bukan hanya sesuai dengan bidang studi,” kata laki-laki 45 tahun itu.
Menurut Sugimun, SMA Negeri 1 Lumbis hanya punya 12 orang pengajar aktif. Padahal jumlah siswa di SMA Negeri 1 Lumbis saat ini 400 orang. Karena itu, pengajar harus merangkap lebih dari satu mata pelajaran. Ia mengeluhkan kebijakan pemerintah yang mengharuskan guru mengajar secara linier dengan bidang keahliannya.
“Di Dapodik (Data Pokok Pendidikan) maunya linier. Jika kami tidak mau mengajar, anak-anak tidak bisa,” kata alumnus Universitas Muhammadiyah Malang itu.
Sugimun mengatakan akreditasi sekolahnya masih B. Ada beberapa faktor yang menjadi kendala untuk meraih prestasi akademi. Di antaranya kurangnya minat belajar siswa karena keterbatasan fasilitas belajar; sarana-prasarana sekolah yang masih terbatas, seperti tidak ada laboratorium; dan keterbatasan guru.
Kini Sugimun hanya bisa mensyukuri nasib. Ia awalnya ingin menjadi pegawai bank. Namun, pada 1998, surat keputusan yang mengharuskan ia berangkat ke Malinau untuk menjadi guru keluar. Laki-laki jurusan pendidikan matematika di UMM itu pun merasakan pahitnya merantau. Ia harus menghabiskan waktu 12 hari perjalanan dari Blitar, kampung halamannya, menuju Malinau.
Awal menjadi guru, ia mendapat gaji Rp 155 ribu. Bahkan gaji itu baru ia terima 1 tahun setelah mengabdi. Ia juga harus tinggal di sekolah serta tidur di ruangan samping toilet. Untuk biaya hidup di awal perantauan, Sugimun banyak mendapat bantuan dari warga sekitar.
Hari berganti hari, kehidupan Sugimun mulai berubah. Kini ia bisa membangun rumah dari hasil perjuangannya. Ia pun bimbang harus kembali ke Blitar atau menetap di Malinau.
DANANG FIRMANTO