TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Komisi Informasi Dewan Perwakilan Rakyat Meutya Hafid menganggap Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah pasal paling krusial. Sebab, kata Meutya, pasal pencemaran nama baik dianggap sebagai pasal karet.
"Yang dipermasalahkan dalam revisi terbatas tentang pencemaran nama baik. Sebab, pasal ini seharusnya melindungi publik, tapi malah jadi melawan publik," kata Meutya saat dihubungi di Jakarta, Rabu, 3 Agustus 2016. Ia mengatakan pembahasan akan berfokus pada pengurangan sanksi hukuman.
Pasal 27 ayat 3 UU ITE berbunyi, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Ketua Tim Panitia Kerja Pemerintah untuk Revisi UU ITE Henri Subiakto mengatakan DPR dan pemerintah sepakat tidak menghapus pasal 27 ayat 3. "Tapi menambah dalam penjelasan bahwa yang dimaksud penghinaan atau pencemaran nama baik itu pengertiannya mengacu pada Pasal 310 dan 311 KUHP," ujar Henri melalui pesan WhatsApp.
Menurut Henri, pasal 27 ayat 3 sangat dibutuhkan untuk melindungi warga negara dari kejahatan yang dengan sengaja ingin memalsukan fakta atau menuduh seseorang melakukan perbuatan yang tidak dilakukan. "Tanpa pasal 27 ayat 3, berarti di Internet orang bebas menuduh dan bebas memalsukan fakta," tuturnya.
Henri menuturkan DPR dan pemerintah hanya mengubah Pasal 45 UU ITE dengan mengubah sanksi hukuman 6 tahun menjadi 5 tahun. Menurut Henri, dengan revisi ini, jaksa dan polisi tidak dapat menahan tersangka sebelum adanya keputusan inkracht berupa penjatuhan pidana dari pengadilan. "Karena KUHAP memberikan kewenangan aparat penegak hukum menahan tersangka yang sanksi hukumannya di atas 5 tahun. Pasal ini yang kami ubah," ucapnya.
Henri menyatakan, dengan sanksi 5 tahun, penegak hukum—baik polisi maupun jaksa—tidak bisa menahan tersangka. "Banyak kasus jadi kontroversi karena tersangkanya belum diadili tapi sudah ditahan," kata Henri. DPR, kata dia, sepakat sanksinya di bawah 5 tahun. "Tapi belum memberikan angka, pemerintah usulkan 4 tahun," ujarnya.
Meutya menegaskan, pasal tersebut adalah pasal yang paling krusial. Ia mengatakan perdebatan terjadi untuk menjamin kebebasan berekspresi individu dan perlindungan individu agar tidak dicemarkan. "Ini dilematisnya," tuturnya. Dewan menargetkan pembahasan rampung pada Oktober 2016.
ARKHELAUS W.