TEMPO.CO, Brebes - Meski beberapa hari ini harga bawang merah sekitar Rp 40 ribu per kilogram, petani menolak bawang merah impor. "Impor bawang bukan solusi memperbaiki harga bawang di pasaran," kata Ketua Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) Juwari, Rabu, 3 Agustus 2016.
Menurut Juwari, penyebab utama mahalnya bawang merah adalah rantai distribusi yang terlalu panjang. “Harga bawang itu sangat bergantung pada rantai distribusi,” ujarnya.
Akibatnya, selisih harga bawang dari petani ke konsumen mencapai lebih dari Rp 10 ribu. Kenyataannya, di petani hanya Rp 24 ribu per kilogram. Sedangkan di Jabotabek bawang dijual Rp 48-50 ribu per kilogram. Karena itu, yang harus dilakukan adalah memangkas rantai pasokan dari petani ke konsumen.
Produksi bawang merah turun pada musim panen raya Juli lalu. Dengan demikian, panen raya tidak bisa menurunkan harga bawang merah pada tingkat konsumen. Meski begitu, Juwari mengklaim hasil panen masih bisa memenuhi kebutuhan nasional, yakni 1.248.000 ton per tahun. Sedangkan kebutuhan hanya sekitar 980 ribu ton per tahun. Karena itu, "Kami menolak impor."
Dia meminta pemerintah tidak hanya ribut ketika bawang merah harganya tinggi di konsumen. Namun harus turun tangan ketika harganya jatuh pada tingkat petani. “Salah satu caranya, membeli hasil panen petani dengan harga layak,” tutur Juwari. Dia meminta agar pemerintah melalui BUMN berperan aktif menstabilkan harga.
Bulog diharapkan bisa berperan maksimal sebagai gudang bawang untuk menstabilkan harga. “Perlu ada regulasi untuk menstabilkan harga dan pasokan," ucap Juwari. Di antaranya dengan pengelolaan stok yang terdiri atas stok lapangan dan stok gudang.
Petani bawang Desa Wangandalem, Kecamatan Brebes, Sugito, 50 tahun, mengatakan harga bawang saat ini pada tingkat petani sekitar Rp 25-30 ribu per kilogram. Menurut dia, kenaikan harga bawang disebabkan produksi berkurang dan harga bibit mahal. “Musim tanam lalu, harga bibit mahal karena langka.”
MUHAMMAD IRSYAM FAIZ