TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan penerapan eksekusi mati terhadap terpidana mati kasus narkoba tak memerlukan evaluasi. Evaluasi menjadi saran sejumlah pihak karena derasnya kritik yang muncul seusai eksekusi mati jilid III terhadap empat terpidana, Jumat, 29 Juli 2016.
"Tidak usah (evaluasi), kan kebijakan itu jadi ketetapan pemerintah. Meski ada tekanan, pemerintah punya yurisdiksi nasional yang harus dipertahankan," ujar Wiranto di kompleks Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta Pusat, Selasa, 2 Agustus.
Menurut dia, semua produk hukum yang ditetapkan pemerintah tertuju pada kepentingan nasional, bukan memenuhi keinginan kelompok tertentu. Dia meminta semua pihak menghormati keputusan pemerintah itu. "Itu semua kepentingan nasional, bukan untuk memuaskan 1-2 orang saja."
BACA: 10 Terpidana akan Dieksekusi Tahun Ini
Kebijakan eksekusi mati, menurut anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Yusuf Kartanegara, harus dicermati agar tak berekor pada masalah baru. Pasalnya, kebijakan ini sangat sensitif dan harus sebisa mungkin dihindarkan dari penyimpangan. "Kelengkapannya itu betul-betul dicermati," katanya di Padang, Selasa.
Protes terhadap Kejaksaan Agung sebagai penanggung jawab diserukan oleh Koalisi Masyarakat Menolak Hukuman Mati. Mereka menyebut pelaksanaan eksekusi mati melanggar aturan dan tidak adil. Menurut mereka, pemerintah telah melanggar Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Berdasarkan UU tersebut, negara dilarang mengeksekusi terpidana mati yang tengah mengajukan permohonan banding.
Pasca-eksekusi mati Jumat lalu pun, koalisi ini mempertanyakan alasan pemerintah memilih empat dari 14 terpidana mati untuk dieksekusi. Terpidana mati jilid III di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, yang dieksekusi adalah Freddy Budiman, Seck Osmane, Michael Titus Igweh, dan Humprey Ejike. Adapun sisa sepuluh terpidana yang sempat masuk isolasi batal dieksekusi hari itu.
YOHANES PASKALIS