TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat, Maman Imanulhaq, mengatakan pengeras suara yang berada di tempat ibadah perlu diatur karena kerap memicu konflik, seperti amuk massa yang terjadi di Tanjungbalai.
"Ini tidak boleh dianggap sepele karena banyak kasus serupa itu jadi pemicu gesekan sosial serius," kata Maman saat dihubungi Antara, Senin, 1 Agustus 2016.
Ia menilai perlu ada pengaturan agar tidak ada lagi konflik. Regulasi khusus yang mengatur pengeras suara perlu dikaji ulang, apakah masih relevan dan seperti apa penerapannya di lapangan. BACA: Orang Memprotes Pengeras Suara Masjid Bukan Kejahatan
Maman memandang kegiatan keagamaan umat mana pun semestinya tidak dilakukan secara berlebihan, seperti penggunaan pengeras suara yang mungkin dapat mengganggu pihak lain.
Aturan pemakaian pengeras dimuat dalam Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor KEP/D/101/1978 bahwa penggunaan pengeras suara keluar supaya tidak meninggikan suara yang berakibat hilangnya simpati pihak lain dan hanya berlaku untuk panggilan azan.
Untuk kegiatan-kegiatan keagamaan lain, seperti doa dan khotbah, hanya dibolehkan menggunakan pengeras suara ke dalam. "Mengeraskan panggilan azan jangan sampai hanya menimbulkan polusi suara, yang justru menimbulkan antipati umat agama lain," tuturnya.
"Panggilan azan sebaiknya dilakukan muazin yang bersuara merdu dengan menggunakan pengeras suara secara tidak berlebihan," ujarnya.
Simak pula:
Masjid di Mekah Dilarang Pakai Pengeras Suara dalam Tarawih
JK Akan Atur Volume Pengeras Suara Masjid
Ia menilai instruksi Dirjen Bimas Islam ini kurang tersosialisasi ke masyarakat. Karena itu, semestinya pengaturan pengeras suara dalam kegiatan keagamaan diatur dalam peraturan yang lebih tinggi agar lebih tersosialisasi dan dapat ditegakkan.
"Aturan apa pun tidak akan menyelesaikan masalah, tanpa ada rasa saling memahami, menghargai, dan menghormati antar-pemeluk agama sebagai dasar toleransi, itu kuncinya," katanya.
ANTARA