TEMPO.CO, Malang - Sebanyak 75 persen dari 2 ribuan media cetak di Indonesia tak profesional. Data Dewan Pers menyebutkan hanya 567 media cetak yang bisa dikategorikan media profesional. Selebihnya tak memenuhi syarat sesuai standar perusahaan pers yang dikeluarkan Dewan Pers.
"Ada yang belum berbadan hukum dan produk jurnalistiknya tak memenuhi prinsip jurnalistik," kata Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etik Pers, Dewan Pers, Imam Wahyudi dalam diskusi literasi media bersama jurnalis di Malang, Jumat 29 Juli 2016. Pertumbuhan perusahaan media, kata dia, tak diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia dan perusahaan pers yang memadai.
Sedangkan dari total sebanyak 43.300 media siber, hanya 211 perusahaan yang dikategorikan perusahaan pers profesional. Untuk itu, Dewan Pers meminta lembaga publik untuk berhati-hati terhadap munculnya media abal-abal. Pelaku seolah berpraktik sebagai jurnalis profesional tetapi melanggar kode etik jurnalis.
"Bahkan ada yang memeras, itu pidana laporkan ke polisi," kata Imam. Media abal-abal muncul, katanya, karena perilaku koruptif di daerah. Sehingga mereka memanfaatkan itu untuk mengeruk keuntungan. Media abal-abal bermunculan terutama sejak pemerintah menggelontorkan dana bantuan operasional sekolah dan dana desa.
"Kepala Desa dan Kepala Sekolah menjadi kelompok rentan yang diperas pelaku media abal-abal," ujarnya. Tahun lalu, kata dia, Dewan Pers mencoret 10 perusahaan pers dari data perusahaan pers profesional karena melanggar prinsip jurnalistik. Perusahaan tersebut beritikad buruk dan cenderung melakukan kejahatan seperti pemerasan.
Sebanyak empat provinsi yang dinyatakan daftar merah karena banyak pengaduan pelanggaran dan sengketa pemberitaan. Yakni Jakarta 394 pengaduan, Sumatera Utara 105, Jawa Barat 51 kasus dan Jawa Timur 44 pengaduan. Sedangkan jumlah jurnalis profesional yang mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sampai saat ini masih kurang dari 10 ribu orang. "Jika ditemukan ada pelanggaran berat Dewan Pers bisa mencabut sertifikat uji kompetensi,"kata Imam.
Sementara itu, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengurus Daerah Jawa Timur, Hendro Sumardiko mengatakan diskusi ini penting menjadi bagian dari kampanye media literasi yang dilakukan IJTI. "Masyarakat sudah melek media, sudah cerdas mengevaluasi dan menganalisis berita," ujar Hendro.
EKO WIDIANTO