TEMPO.CO, Semarang - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memprediksi, modus dan potensi pelanggaran dalam pilkada serentak 2017 di Jawa Tengah, akan meningkat.
Juru Bicara DKPP, Nur Hidayat Sardini, mengakui modus pelanggaran pilkada 2015 dan 2017 hampir sama, memiliki kondisi yang sama. “Tapi, dalam bagian tertentu pelanggaan kode etik akan lebih tinggi frekuensi dan intensitasnya. Karena pilkada 2017 ada kerumitan-kerumitan yang bersumber dari UU Nomor 10 tahun 2016 tentang pilkada,” kata dia, dalam seminar jurnal modus-modus pelaggaran dan netarlitas aparat sipil negara, di FISIP Universitas Diponegoro Semarang, Kamis (28/7).
Bekas Ketua Bawaslu RI ini mencontohkan, adanya kerumitan dalam pilkada 2017 seperti dalam verifikasi calon perseorangan, perbedaan profile kinerja antara KPU dan pemerintah daerah terkait pengelolaan daftar pemilih, hingga kerumitan teknik verifikasi faktual syarat dukungan.
Dosen FISIP Undip ini memprediksi, pelanggaran kode etik pilkada 2017 terutama dalam tahap pencalonan, dalam verifikasi. Adapun modusnya bakal didominasi pelanggaran netralitas, imparsialitas, kemandirian penyelenggara.
Nur Hidayat membeberkan, selama pilkada 2015 lalu, DKPP menerima pengaduan 493 kasus. Setelah diverifikasi administrasi dan material, DKPP melakukan sidang 251 kasus.
Putusannya 509 (63,07 persen) penyelenggara direhabilitasi. Dan 223 (27,69 persen), orang dikenai sanksi peringatan/teguran tertulis, serta 4 (0,50 persen) orang kena sanksi pemberhentian. Sementara, 60 (7,43 persen) orang dikenakan sanksi pemberhentian tetap atau dipecat, dan 11 (1,36 persen) orang dinyatakan ketetapan. “Total penyelenggaran pemilu yang diadukan dan diproses DKPP sebanyak 807 orang,” kata Nur Hidayat.
Nur Hidayat menyatakan, ada 14 jenis modus pelanggaran dalam pilkada yang bisa dilakukan penyelenggara pilkada. Di antaranya: manipulasi suara, penyuapan, perlakuan tidak adil dan setara, pelanggaran hak pilih, kerahasiaan suara dan tugas, penyalahgunaan jabatan/wewenang, benturan kepentingan, modus kelalain kerja, intimidasi dan kekerasan. “Dalam pilkada 2015, pelanggaran paling besar, pelanggaran netralitas, imparsialitas dan kemandirian. DKPP memproses dan memutus bersalah 261 orang penyelenggara pemilu,” kata Nur.
Anggota Panwaslu Pati, Ahmadi, menyatakan potensi pelanggaran pilkada sangat tinggi. “Yang paling banyak, politik uang,” kata Ahmadi.
Dosen FISIP Undip, Fitriyah, menyatakan politik uang tidak bisa terelakan. “Banyak modusnya, dari uang tunai hingga bantuan barang,” kata dia, dalam forum itu. Meski politik demikian, Fitriyah mempertanyakan tidak adanya penegakan hukum. Misalnya, politik uang dilarang tapi tidak ada tindakan yang tegas. ROFIUDDIN