TEMPO.CO, Cilacap - Ini adalah hari-hari akhir yang menyedihkan bagi Merry Utami. Merry Utami divonis hukuman mati karena kedapatan membawa heroin 1,1 kilogram di dalam tasnya. Ia ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta. Menurut pengakuannya, tas itu milik teman prianya asal Nepal. Merry telah menjalani hukuman 15 tahun penjara di Tangerang. Menjelang hukuman mati dia dipindah ke Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Merry Utami dulu awalnya adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Merry, sempat tinggal bersama kakak kandungannya di Jalan Veteran, Dusun Notosuman RT 05 RW 05, Desa Singopuran, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Priyono (60), mantan Kepala Dusun Notosuman pada Senin mengatakan,"Saya masih tetangga rumah kakaknya, dan saya sempat yang membuatkan kartu tanda penduduk (KTP), Merry pada sekitar tahun 2000-an." Menurut dia, Merry tinggal di rumah kakaknya tersebut sekitar satu tahun saja, karena ada masalah keluarga. Dia sudah berkeluarga dan memiliki dua anak.
Merry Utami selama tinggal di kampung ini, tidak ada masalah biasa-biasa saja, dia dulunya memang bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI), dan suaminya seorang guru.
"Namun, saya baru tahu jika Merry Utami akan menjalani hukuman mati dari nonton siaran televisi," ucapnya.
Kondisi rumah warna cat hijau milik kakak kandung Merry Utami di Jalan Veteran Dusun Notosuman Kartasura Sukoharjo, saat ini, kelihatan sepi, karena semua penghuni rumah sedang bekerja.
Menurut Priyono dia baru tahu Merry Utami terseret kasus narkoba saat polisi datang ke rumah di Sukoharjo. "Saya sempat tahu saat ada petugas dari kepolisian memberikan surat atas penangkapan Merry terkait kasus narkoba. Surat itu, memang dikirimkan ke alamat kakaknya di Notosuran ini," ungkapnya.
Diduga selama menjadi TKI itulah, Merry Utami berkawan dengan orang Nepal yang belakangan menitipkan tas berisi narkoba. Nasibnya seperti Mary Jane, terpidana kasus narkoba asal Filipina yang juga terancam hukuman mati. Mary Jane hanya dititipin paket oleh seorang bandar.
Ayah Merry Utami, Siswandi, yang menderita stroke sejak menerima kabar penangkapan anaknya, pernah memohon kepada Presiden Joko Widodo agar memberikan grasi kepada anaknya. "Masak Mary Jane, bisa anak saya Merry Utami tak bisa," begitu Siswandi pernah bercerita kepada wartawan seperti dikutip stasiun teve Berita Satu.
Sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat memprotes hukuman mati bagi Merry Utami. "Dia bukan gembong. Merry hanya korban yang harusnya dilindungi negara," kata Muji, salah satu orator aksi di depan dermaga Wijaya Pura, Nusakambangan, Kamis, 28 Juli 2016. (Baca: Merry Utami Bukan Gembong Narkoba)
DEWI SUCI RAHAYU | ANTARA