TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi menolak gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Yogyakarta. Salah satu isi gugatan meminta calon Gubernur-Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dapat berasal dari berbagai kalangan di masyarakat.
"Majelis hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, didampingi hakim konstitusi Manahan Sitompul dan Suhartoyo, memberi saran perbaikan kepada pemohon," begitu bunyi rilis Mahkamah Konstitusi, Kamis, 28 Juli 2016.
UUK DIY mensyaratkan jabatan gubernur-wakil gubernur diisi tokoh yang menempati posisi Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam.
Pasal-pasal yang digugat di antaranya Pasal 18 ayat 1-c dan ayat 2-b; Pasal 19-26; serta Pasal 28 ayat 5-a hingga 5-k. Pasal-pasal tersebut mengatur persyaratan calon gubernur-wakil gubernur, tata cara pengajuan calon, serta verifikasi dan penetapan gubernur-wakil gubernur.
Menanggapi gugatan itu, hakim Manahan meminta pemohon memiliki kedudukan hukum dan mengelaborasi permohonan karena pemohon adalah penduduk Jawa Timur.
Arief menjelaskan, Yogyakarta memiliki latar belakang sejarah yang kuat sehingga disematkan status “Daerah Istimewa”. Suatu daerah juga ditetapkan sebagai daerah khusus jika memiliki kekhususan kenyataan dan kebutuhan politik, yang tidak bisa disamakan dengan daerah lain.
"Pemohon tetap berpendapat dirinya memiliki kedudukan hukum karena memiliki hak konstitusional untuk dipilih," begitu bunyi rilis Mahkamah Konstitusi.
Gugatan diajukan Muhammad Sholeh, yang merasa dirugikan ketentuan yang ada pada UUK DIY. Ketentuan itu dinilai dapat menghalangi dia atau warga negara lain mencalonkan diri menjadi Gubernur DIY.
FAUZY DZULFIQAR | BUDI RIZA