TEMPO.CO, Lamongan - Bekas Kombatan Afghanistan, Ambon, dan Boso, Ali Fauzi, 46 tahun, mengakui pendukung Santoso di Poso, Sulawesi Tengah, masih cukup besar.
Wajar jika saat proses pemakaman Muslim Santoso di Desa Lando Jaya, Landangan, Kecamatan Poso Pesisir, dihadiri banyak orang.
”Selanjutnya, ini tugas negara, menjaga hubungan baik agar keluarganya (Santoso) tidak balas dendam,” ujar Ali kepada Tempo Senin, 25 Juli 2016.
Menurut Ali, Poso pernah menjadi basis kasus pertikaian antar-agama yang ekstrim. Kenapa Santoso kemudian memanggul senjata? Ini yang perlu dijawab. Pada kasus perjanjian Malino misalnya, pada kenyataannya penanganannya masih di level atas dan bukan di bawah. Dan salah satu korbannya adalah Santoso, yang kemudian tidak puas.
Dan bertahun-tahun lamanya, lanjut Ali, Santoso hidup di hutan-hutan, melakukan tindakan perlawanan. Bahkan pernah melakukan perampokan dan pembunuhan aparat. Tetapi semua itu bagian dengan sebab akibat, yaitu kejengkelannya atas kasus masa lalu. Seperti kasus penganiayaan di Pondok Pesantren Wali Songo Poso dan sejumlah tindakan kekerasan dengan korban yang menimpa umat Islam.
Ali menyebutkan, kematian Santoso, tidak bisa serta-merta membuat kondisi di Poso aman. Karena kemungkinan para simpatisan yang berada di gunung, hutan, juga yang berada di kota-kota, termasuk di kampung keluarganya, bergerak.
Untuk menjaga kondisi keamanan tetap stabil maka ini menjadi tugas pemerintah untuk tetap menjaga hubungan baik. Paling tidak antara aparat keamanan, pendukung Santoso, dan juga dengan keluarga serta dengan istrinya. Karena dengan menjaga hubungan baik, diskusi, membuat kegiatan, seperti pesan damai dan sejenisnya, akan mengurangi tingkat ketegangan di masyarakat Poso.
Ali mengakui dia mengenal Santoso dan juga teman-temannya. Bahkan, sebagian dari mereka ini adalah anak buahnya saat masih aktif menjadi kombatan di Afghanistan, Poso, dan juga di Ambon. Bahkan sekarang ini dia kerap masih berhubungan, baik lewat telepon atau dengan alat komunikasi lain. “Saya kerap memberi nasehat, untuk mengajak mereka meninggalkan gerakan radikal,” tandasnya.
Ali juga memuji, penangkapan istri Santoso oleh aparat keamanan dari Angkatan Darat tanpa kekerasan. Ini menjadi kesan bagus bagi keluarga Santoso agar mereka juga punya sikap positif terhadap aparat keamanan.”Jadi, bagi saya ini menarik,” imbuh adik dari terpidana mati Amrozi dan Ali Ghufron ini.
Jenazah Santoso alias Abu Wardah dimakamkan di pekuburan muslim di Desa Lanto Jaya, Landangan, Kecamatan Poso Pesisir. Jasadnya dibawa dengan mobil ambulans dari Rumah Sakit Bhayangkara, Palu, pada Sabtu, 23 Juli 2016 pukul 08.00 Wita.
Di rumah sakit, jenazah Santoso diserahkan kepada perwakilan keluarga. Mobil ambulans dikawal Tim Densus 88 yang menggunakan mobil Toyota menuju Kabupaten Poso.
Adapun jenazah Mukhtar dijemput keluarganya pada pukul 09.30 Wita. Jenazah Mukhtar dikebumikan Sabtu di wilayah Tawaili, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu.
Di beberapa lokasi di Poso Pesisir, spanduk penyambutan jenazah pemimpin Mujahidin Indonesia Timur ini sudah terpasang, yang bertulisan: "Selamat Datang Syuhada Poso, Santoso alias Abu Wardah". Tampak foto Santoso sedang menenteng senjata dan foto saat sedang dievakuasi terpasang pada spanduk tersebut.
Santoso dan Mukhtar tewas dalam kontak senjata antara Satuan Tugas Operasi Tinombala 2016 dan kelompok bersenjata pada Senin, 18 Juli 2016. Sedangkan 19 orang lainnya masih diburu, termasuk Basri alias Bagong alias Ayah dan Ali Kalora beserta tiga perempuan.
SUJATMIKO