TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Agus Sunyoto menilai putusan International People's Tribunal (IPT) mengenai peristiwa pembantaian kader dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1965-1966 keliru. IPT menilai peristiwa kekerasan 1965 adalah genosida dan pemerintah Indonesia harus meminta maaf pada para korban.
Menanggapi putusan IPT itu, Agus Sunyoto menegaskan bahwa pemerintah Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak bisa dituntut bertanggungjawab atas tragedi 1965 itu. Pasalnya, kata Agus, pemicu sebenarnya tragedi 1965 adalah tindakan oknum-oknum yang terkait dengan het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) atau tentara Kerajaan Hindia Belanda, di tubuh militer Indonesia.
Berikut ini penjelasan lengkap Agus Sunyoto, seperti disampaikannya pada wawancara dengan Tempo, Kamis 21 Juli 2016. Pemuatan transkrip lengkap wawancara ini juga merupakan koreksi dan hak jawab.
Bagaimana tanggapan Anda soal putusan International People's Tribunal mengenai tragedi 1965?
Putusan itu kan enggak punya kekuatan hukum. Itu juga jauh dari fakta sejarah yg ada di lapangan. Dari sudut pandang sejarah, yang punya peran penting dalam kekerasan 1965 itu Belanda melalui tokoh-tokoh ex-KNIL.
Kenyataan sejarah menunjukkan, sepanjang kemerdekaan lndonesia, unsur ex-KNIL masih dikendalikan Belanda. Sampai saat pembantaian para jenderal-jenderal, yg dibunuh adalah jenderal didikan Jepang dari PETA, Seinendan.
Jadi rekomendasi IPT 1965 itu nggak bisa dijalankan?
Nggak bisa dijalankan karena kekuatan hukumnya tidak ada. Itu harus disikapi seperti reaksi pemeritah Jepang saat menanggapi vonis peradilan internasional yg menghukum Perdana Menteri Tojo sebagai penjahat kemanusiaan (setelah Perang Dunia II). Jepang mengabaikan vonis itu dengan menyatakan bagi bangsa Jepang Tojo adalah pahlawan.
Jadi bagaimana solusi untuk tragedi 1965?
Harus ada pelurusan sejarah yg obyektif. Siapa sejatinya yang bermain di balik peristiwa kekerasan itu? Menurut saya, Belanda yg bermain lewat TNl ex-KNIL. Orde baru yg didominasi ex-KNIL yg bermain. Karena itu, saya tidak sepakat TNI disalahkan karena yg bermain oknum-oknum ex-KNIL.
Artinya, pemerintah nggak perlu minta maaf ya pak?
Enggak perlu. Kalau pemerintah minta maaf, maka pemerintah dituntut untuk memberikan kompensasi ganti rugi. Yang akan membagi dana ganti rugi siapa? Itu bisa dimanfaatkan oleh calo-calo.
Maksudnya, orang-orang yg terlibat dalam IPT 1965 adalah calo?
Bisa saja. Orang-orang yg terlibat dalam IPT bisa dikatakan calo. Dalam kasus tragedi pembantaian Rawagede dan Westerling, dapat jadi contohnya. Berapa kompensasi ganti rugi yg sudah diberikan pemerintah Belanda? Siapa yg mengawasi dan mengaudit penyaluran dana ganti rugi? Apakah dana untuk keluarga korban itu sudah sesuai dengan yg diberikan pemerintah Belanda?
IPT 1965 memutuskan pemerintah Indonesia harus minta maaf dan memberi kompensasi ganti rugi terhadap keluarga korban kekerasan 1965, tapi berapa jumlah kompensasi yg harus diberikan? Dana ganti rugi itu disalurkan lewat mana? Siapa yg menyalurkan? Ada auditing tidak?
MAYA AYU PUSPITASARI