TEMPO.CO, Denpasar - Sebuah prasasti untuk mengenang pembunuhan bocah berusia 8 tahun, Engeline, oleh ibu angkatnya, Margaret Christina Megawe, diletakkan di Desa Budaya, Desa Kertalangu, Denpasar, Bali.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait hadir dalam acara penandatangan prasasti. Ia mengatakan pembuatan prasasti Engeline, peristiwa yang menjadi sorotan dunia itu, merupakan persyarat jika Indonesia ingin mempunyai hari khusus anti kekerasan terhadap anak.
"Penandatanganan prasasti ini merupakan momentum untuk menciptakan gerakan nasional anti kekerasan terhadap anak," kata Arist, Rabu, 20 Juli 2016.
Menurut Arist, semula prasasti Engeline akan ditempatkan di sekitar tempat kejadian perkara pembunuhan, yakni di rumah Margiret, di Jalan Sedap Malam, Denpasar. Namun, lokasi itu dinilai tidak layak. “Tidak ada yang memberikan jaminan keamanan prasasti bila ditempatkan di situ,” ujarnya.
Atas dasar pertimbangan itu, prasasti Engeline kemudian diletakkan di Desa Budaya Kertalangu. Prasasti Engeline berada dalam satu lokasi dengan Gong Perdamaian yang ada di desa itu. Rencananya, patung Engeline juga akan dipajang di desa yang menjadi salah satu destinasi wisata itu.
“Pada saat liburan, anak-anak dari berbagai daerah di Indonesia maupun internasional yang datang kemari bisa mengenang hari anti kekerasan terhadap anak," kata Arist.
Arist menjelaskan, penempatan prasasti Engeline di Bali karena provinsi berjulukan Pulau Dewata itu merupakan pintu gerbang perhatian dunia dan masyarakat Indonesia. Dia berharap prasasti Engeline bisa menjadi momentum agar kekerasan terhadap anak bisa segera berakhir.
Kekerasan terhadap anak, kata Arist, masih berupa fenomena gunung es. Selain itu, anak dianggap persoalan domestik atau urusan rumah tangga. Belum menjadi urusan publik. "Dalam kasus Engeline, guru dan tetangga mendengarnya. Mereka ingin membantu tapi tidak punya niat dan kemampuan," katanya.
BRAM SETIAWAN