TEMPO.CO, Semarang - Keberadaan rokok kretek filter dinilai menjadi penyebab salah kemiskinan di Jawa Tengah setelah beras. Temuan itu berdasarkan survei profil kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah pada periode September 2015 hingga Maret 2016.
“Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan di daerah perkotaan maupun perdesaan pada Maret 2016 adalah beras dan rokok kretek filter,” kata kepala BPS Jateng Margo Yuwono, di kantornya, Senin 18 Juli 2016.
Menurut Margo, selain rokok dan beras komoditi bukan makanan yang berpengaruh besar terhadap garis Kemiskinan di daerah perkotaan maupun perdesaan adalah biaya perumahan dan bensin. Meski tak memberikan alasan jelas, peranan komoditi makanan terhadap kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
Ia menyebutkan pada Maret 2016 sumbangan garis kemiskinan makanan terhadap kemiskinan di Jateng sebesar 73,00 persen. “Itu mengalami sedikit perubahan dibandingkan dengan September 2015 yang sebesar 73,23 persen,” kata Margo menambahkan.
Tercatat jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah pada Maret 2016 mencapai 4,507 juta orang atau sebanyak 13,27 persen naik sekitar 1,11 ribu orang jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2015 yang tercatat sebesar 4,506 juta orang.
Hasil survei BPS jateng menunjukan penduduk miskin perkotaan di Jateng naik sekitar 34,51 ribu orang dari 1.789,57 orang menjadi 1.824,08. Peningkatan angka kemiskinan penduduk perkotaan d Jateng itu berrbanding terbalik dengan penduduk miskin di pedesaan yang justru turun pada periode yang sama. Dalam data yang ia sampaikan menunjukan angka kemiskinan penduduk pedesaan di Jateng berkurang 33,4 rbu orang dari 2.716,21 ribu menjadi 2.682,81 ribu orang.
Tercatat pada hitungan komulatif pada periode September 2015 hingga Maret 2016 menunjukan mencapai 4,507 juta orang atau 13,27 persen atau naik sekitar 1,11 rbu orang yang sebelumnya tercatat sebesar 4,506 juta orang atau 13,32 persen.
Margo menjelaskan, meskipun meningkat namun secara persentase penduduk miskin turun sebesar 0,05 persen. “Selama periode September 2015-Maret 2016, penduduk miskin di daerah perkotaan naik sekitar 34,51 ribu orang dari 1.789,57 ribu orang pada September 2015 menjadi 1.824,08 ribu orang pada Maret 2016,” kata Margo menjelaskan.
Sekretaris Gerakan Masyarakat Tembakau Indonesia, Syukur Fahrudin membantah hasil survei BPS yang menjadikan rokok sebagai salah satu faktor pendorong kemiskinan di Jateng. Menurut dia, keberadaan komoditas rokok tak bisa dijadikan acuan mengukur kemisikinan.
“Tudingan rokok sebagai biang kemiskinan diliat dari pemenuhan hidup itu tak realistis,” kata Syukur Fahrudin.
Menurut dia, efek pertumbuhan ekonomi masyarakat dari industri rokok di Jateng justru tinggi. Ia menyebutkan industri rokok di Jateng telah mampu menyerap tenga kerja besar, hingga buruh tani dan pedagang kelontong.
“Terbukti Cukai rokok tinggi tahun ini meningkat, pendapatan pemerintah provinsi dari pertumbuhan dana bagi hasil cukai tembakau juga tinggi,” kata Syukur menjelaskan.
Menurut dia realisasi cukai hasil tembakau tahun ini mencapai Rp 651,7 miliar. Angka itu dinilai lebih tinggi dari targetkan pajak Rp 463,1 miliar.
Syukur juga mempertanyakan survei BPS yang dinilai hanya berdasarkan data yang tak memberikan fakta. “Ketrbukaan fakta datanya di mana,” katanya.
EDI FAISOL