TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat dunia memperingati 17 Juli sebagai Hari Keadilan Sedunia. Momen ini merupakan hasil Konferensi Diplomatik Internasional di Roma, Italia, pada 1998. Pada peringatan tersebut, Kawan8--perkumpulan relawan netizen yang menuntut pembebasan tujuh terpidana dalam kasus Jakarta International School (JIS)--mengingatkan kembali masyarakat akan adanya rekayasa dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak tersebut.
"Mereka menjadi korban ketidakadilan akibat malicious prosecution atau investigasi dengan niat jahat dan tuntutan palsu," ujar Arita G.Z., koordinator Kawan8, dalam siaran pers, Senin, 18 Juli 2016. Saat ini, dia melanjutkan, salinan putusan Mahkamah Agung atas terpidana Neil Bantleman sudah turun. Kawan8 mendesak agar Mahkamah Agung juga secepatnya menurunkan salinan putusan atas enam orang lain.
Hal ini diperlukan agar para pengacara dapat segera mempersiapkan langkah hukum. Menurut Arita, momentum pembersihan Mahkamah Agung--yang saat ini menjadi sorotan publik--yang paling minimal dapat dilakukan adalah persoalan administrasi.
“Salinan putusan butuh waktu lama untuk tiba di tangan pengacara korban, padahal sidang putusan sudah lama berlalu. Ini menunjukkan kelemahan Mahkamah Agung dalam mengelola administrasi,” kata Arita. Mahasiswi ini yakin hakim akan bersikap adil kali ini. Sebab, menurut dia, saat ini banyak masyarakat dan media yang telah menyadari bahwa kasus tersebut sarat rekayasa. Berbeda dengan saat awal kasus ini mencuat.
Arita mengatakan tujuan gerakan relawan ini adalah membawa para terpidana--mereka menyebutnya dengan korban kriminalisasi--kembali ke rumah mereka dan berkumpul bersama keluarganya. Serta negara merehabilitasi nama baik para korban kriminalisasi kasus ini.
Saat ini para relawan netizen tengah mengumpulkan sumbangan untuk perjuangan pembebasan tujuh korban rekayasa kasus JIS 2014. Kawan8 mengumpulkan donasi di https://m.kitabisa.com/justice4theinnocents yang telah terkumpul Rp 203 juta per Ahad, 17 Juli 2016.
Arita juga kembali mengingatkan masyarakat bahwa pengacara keluarga korban yang disebut disodomi dalam kasus ini adalah O.C. Kaligis, yang tengah ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dengan suap. Melalui O.C. Kaligis, orang tua meminta ganti rugi US$ 125 juta, setara Rp 1,6 triliun. Jumlah itu melonjak sepuluh kali lipat dari tuntutan awal mereka.
REZA MAULANA