TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan mengecam tindakan yang dilakukan polisi dalam kasus pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Yogyakarta pada Jumat, 15 Juli 2016. Pengepungan warga sipil di Asrama Mahasiswa Papua oleh polisi itu dinilai bukan hanya sekedar isolasi fisik, melainkan ada pula aspek sekunder.
Polisi diketahui menyetop bantuan makanan dari warga sekitar untuk orang-orang yang terkurung di dalam asrama. Penghuni asrama juga diperlakukan secara buruk ketika berusaha keluar dari asrama. “Banyak bukti foto dan video kepalanya ada yang diinjak dan terjadi kekerasan fisik,” kata Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, Haris Azhar dalam konperensi pers di kantornya di Jakarta, Senin, 18 Juli 2016.
KontraS menilai pengepungan ini merupakan propaganda hitam seolah-olah etnis Papua memang sengaja membuat kekacauan sehingga polisi melakukan tindakan itu. “Padahal aksinya belum dilakukan. Mereka tidak melakukan hal yang masuk kategori tindak pindana,” kata Haris. Dia mengkhawatirkan adanya diskriminasi etnis karena identitas Papua dari para penghuni asrama itu. “Kalau rambut keriting, kulit hitam, dan mengritik negaranya, pasti ditangkap.”
Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, menilai polisi menghambat proses demokrasi. Tindakan pengisolasian dan penganiayaan terhadap warga sipil asal Papua ini menunjukkan sikap otoriter polisi.
“Ini jauh dari sifat polisi sipil. Kita bukan polisi militeristik atau otoriter karena negara kita menganut demokrasi. Orang mau demo kok dihalangi?” kata dia dalam konferensi pers itu.
Bambang mengatakan dinamika dalam tubuh Polri seharusnya tidak menghambat jalannya demokrasi. Polri diminta mengubah kesan organisasi polisi yang militeristik, destruktif, dan otoriter menjadi polisi sipil berdasarkan kemanusiaan dan toleransi.
Perubahan manajemen sumber daya manusia polisi dan pengawasan terhadap kekuasan polisi juga perlu dilakukan agar tidak bermental korup dan tebang pilih. “Polisi itu kan bukan alat politik. Jangan lindungi pemerintah saja lalu rakyat dikesampingkan,” kata Bambang.
Keduanya berharap Kapolri, Tito Karnavian, yang baru dilantik, bersikap lebih bijaksana menghadapi hal sensitif seperti ini. “Pak Tito kan pernah kerja di Papua seharusnya bisa memahami secara kultural keadaan di sana,” kata Haris.
Keduanya juga meminta perbaikan polri menyeluruh dalam badan polri, seperti yang diperintahkan Presiden Jokowi pada saat pelantikan Kapolri kemarin. “Kalau Pak Jokowi minta ada perubahan menyeluruh kan artinya benar ada penyakit,” kata Bambang.
IQRA ARDINI | BUDI RIZA