TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian, Yundini Husni, menggugat hak prerogatif presiden menentukan jabatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam disertasinya yang berjudul “Presidential Power dan Jabatan Kapolri”. Yundini menjalani sidang promosi gelar doktor program studi ilmu politik di Universitas Indonesia pada Kamis, 14 Juli 2016.
Menurut dia, dalam suksesi Kapolri, selalu muncul fenomena presidential power. Sebab, Kapolri dianggap merupakan jabatan politis. Padahal, kata dia, seharusnya fenomena tersebut tidak perlu terjadi bila sistem kepangkatan dan karier di institusi kepolisian berjalan. "Saya menggugat hak prerogatif presiden dalam menentukan jabatan Kapolri," kata Yundini.
Ia menuturkan suksesi Kapolri seharusnya melalui berbagai pertimbangan. Memang, kata dia, ada hak prerogatif presiden menentukan jabatan Kapolri. Namun tidak bisa 100 persen presiden yang menentukan jabatan tersebut. "Harus mengikuti aturan dan undang-undang," ujarnya.
Sebagai contoh, kata dia, manuver Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengusulkan Inspektur Jenderal Timur Pradopo sebagai Kapolri. Padahal saat itu ada jenderal bintang tiga lain yang diajukan Komisi Kepolisian Nasional.
Presiden SBY saat itu tidak menggubris calon yang lebih layak dari Kompolnas. Padahal, dalam pemilihan jabatan Kapolri, harus ada perimbangan kekuasaan. Artinya, penentuan jabatan tidak bisa dikuasai presiden seorang diri. "Buat apa Kompolnas didirikan, bubarkan saja. Kompolnas dibuat untuk mengawasi dan menjaga institusi Polri," ujarnya.
Ia menuturkan seharusnya mekanisme pemilihan Kapolri mengikuti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Calon Kapolri harus melihat faktor jenjang kepangkatan dan mekanisme pembinaan karier.
Ia melihat ada fenomena presidential power dalam menentukan jabatan Kapolri. Yundini berpendapat, setiap kandidat seakan-akan yakin lobi lebih penting ketimbang kinerja. "Mencari beking dianggap mujarab untuk menghapus cacat pada rekam jejak masa lalu," ujarnya.
Menurut dia, ketidaknormalan menentukan Kapolri menghalangi peluang terpilihnya pemimpin paling berkualitas di Markas Besar Kepolisian. Padahal, dalam Undang-undang Kepolisian, dinyatakan polisi tidak dapat berpolitik.
Namun, kenyataannya, dunia kepolisian sangat erat dengan kehidupan politik. Bahkan ketidakberesan suksesi Kapolri hampir erat sepanjang sejarah. "Ada yang jabatannya masih AKBP, yakni Cipto Danu di era Sukarno, jadi Kapolri. Ini karena kedekatan dengan penguasa," ucapnya.
IMAM HAMDI