TEMPO.CO, Surabaya - Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini berharap, pemudik yang kembali ke Kota Pahlawan tak membawa sanak saudaranya. Risma tak ingin Surabaya penuh sesak dan tak dapat mencapai hasil maksimal untuk memenuhi kebutuhan warganya.
"Saya berharap masyarakat yang kembali (ke Surabaya) tidak membawa saudaranya ke sini karena kota ini tidak nyaman lagi kalau terlalu banyak penghuninya," tuturnya setelah melayani gelar griya (open house) di rumah dinasnya, Rabu, 6 Juli 2016.
Selain magnet bagi pencari kerja, Surabaya menjadi sasaran keluarga tak bertanggung jawab. Mereka membuang anggota keluarganya yang mengalami gangguan psikotik alias gangguan kejiwaan. Bahkan, jumlahnya bertambah banyak saat Lebaran. "Orang gila itu banyak yang dibuang sama keluarganya," ujar Risma.
Setiap tahun, pada hari kedua Lebaran, ia biasa menyempatkan diri mengunjungi Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Surabaya di kawasan Keputih. Dalam kurun waktu 2 jam, ada empat sampai lima penderita gangguan jiwa yang terjaring patroli anak buahnya di jalan-jalan Surabaya. Rata-rata pengidap gangguan psikotik berusia lanjut itu dibuang keluarganya.
Modusnya, keluarga sengaja meninggalkan mereka di pinggir jalan, puskesmas, masjid, bahkan restoran cepat saji. Karena linglung, petugas Satpol PP maupun Linmas membawanya ke Liponsos.
Setibanya di sana, mereka dirawat sampai sembuh. Setelah mampu berbicara dengan baik, biasanya si kakek atau nenek mengaku sejatinya mereka dibuang oleh putra-putrinya. "Saya pulangkan enggak mau, mungkin takut sama anaknya," kata Risma.
Mirisnya, meski telah dirawat sampai sembuh dan diantar secara cuma-cuma ke daerah asal, ada kerabat yang tetap menolak. Bahkan, mereka sengaja menutup pintu rumah, berlagak sedang tak ada di sana. Mau tak mau, petugas Liponsos yang mengantar si kakek membawanya kembali ke Surabaya.
Akibatnya, kini jumlah penghuni Liponsos membeludak. Risma menyebut, sedikitnya ada 2.115 orang terdiri atas pengidap gangguan psikotik, gelandangan, dan anak jalanan. Sedangkan sekitar 70 lansia ditempatkan di Griya Wredha. Sekitar 95 persen penghuni Liponsos bukan orang Surabaya, tapi dari luar kota, bahkan luar pulau.
"Kalau semua dibuang ke Surabaya, bagaimana? Masa, saya tega mengeluarkan lagi setelah sembuh?" kata Risma.
Risma pun tak habis pikir atas perilaku keluarga yang membuang anggotanya tersebut. Menurut dia, perilaku itu tergolong perbuatan jahat. "Sungguh keterlaluan, ini kejam dan durhaka betul!"
Perempuan peraih penghargaan Wali Kota Terbaik Dunia versi World Mayor itu kini terus berupaya mencari solusi. Ia berharap pemerintah kabupaten dan kota tetangga mau diajak bersinergi. "Saya yakin, kabupaten/kota lain punya anggaran untuk ngopeni mereka," ucapnya.
ARTIKA RACHMI FARMITA