TEMPO.CO, Oslo - Ruang Scene 2 Opera House Oslo Norwegia tiba-tiba hening setelah Raphael Chenuil-Hazan memperkenalkan Celia Veloso, ibu terpidana mati Mary Jane Veloso, kepada sekitar 80 peserta diskusi di ruangan itu.
Sore itu, Raphael Chenuil, Direktur Eksektif ECPM (Ensemble Contre la Peine de Mort/Together Against the Death Penalty) Prancis, menyebut Celia sebagai “Ibu yang terus memperjuangkan agar anaknya bebas dari eksekusi mati oleh otoritas Indonesia.”
Selama 5 menit, Celia Veloso menyampaikan cerita singkat dan padat. Anaknya ditangkap oleh aparat hukum Indonesia karena dituduh menyelundupkan narkoba dan divonis hukuman mati pada Oktober 2010 di Pengadilan Negeri Sleman. Dengan suara pelan dia menuduh sejak awal proses hukum anaknya di Indonesia bermasalah.
“Anak saya (yang berbahasa Tagalog) tidak didampingi penerjemah dan pengacara saat diperiksa (sebagai tersangka),” kata perempuan Filipina berusia 56 tahun itu dalam bahasa Tagalog yang diterjemahkan ke Bahasa Inggris, Rabu 22 Juni 2016. “Saya berharap dia diampuni dan dibebaskan,” kata Celia.
Kendala bahasa dan minimnya akses ke layanan bantuan hukum adalah masalah serius yang dihadapi oleh orang-orang dari pekerja migran dan minoritas yang dituduh melakukan kejahatan serius. Kendala bahasa — tak adanya penerjemah independen—kerap dihadapi oleh tersangka kriminal yang kemudian berujung hukuman mati. Itu pula yang didiskusikan dalam sesi “Migrants and Minorities: Strategies to Overcome Challanges in Capital Cases” yang digelar sebagai rangkaian dari The6th World Congress Against the Death Penalty di Opera House Oslo, pekan keempat Juni lalu.
Dalam kasus Mary Jane, saat di pengadilan dia pernah minta penerjemah bahasa Tagalog tapi tak dikabulkan oleh hakim. Ini Ironi, suatu proses hukum yang vonisnya maksimal, tapi sejak awal pemeriksaan terhambat kendala bahasa antara terperiksa dan penyidik. Padahal persidangan Mary berlangsung dalam bahasa Indonesia, yang tidak dimengerti oleh terdakwa. Padahal, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, hakim ketua berwenang menunjuk penerjemah dan terdakwa berhak diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya ihwal dakwaan yang ditujukan kepadanya.
Belum lagi si terperiksa tidak didamping oleh pengacara sejak awal. Atas alasan itu pula, aktivis anti hukuman mati kerap mengkritik proses hukum yang tidak kredibel tidak mungkin menghasilkan putusan yang adil, apalagi bila vonisnya hukuman mati. Selain bertentangan dengan hak asasi manusia, hukuman mati juga merupakan produk dari sistem hukum yang “miring”, diskriminatif, dan kerap pula dijadikan sebagai alat politik.
Dalam kasus Mary, di detik-detik menjelang eksekusi pada April tahun lalu, pemerintah Indonesia menundanya karena belakangan diketahui bahwa Mary adalah korban perdagangan orang yang dijebak oleh pengedar narkotik. Alih-alih mendapat pekerjaan di Malaysia, oleh perekrutnya, pekerja migran itu justru disuruh ke Yogyakarta dengan upah US$ 500 untuk membawa koper yang belakangan diketahui berisi heroin 2,6 kilogram.
Eksekusi terhadap pekerja migran itu ditunda setelah otak di balik penyelundupan narkotik itu menyerahkan diri ke penegak hukum di Filipina. Tapi vonis hukuman mati masih melekat pada warga Filipina itu. Adapun proses hukum di Filipina terhadap Maria Kristina Sergio dan pasangannya—perekrut Mary Jane secara ilegal—belum selesai. “Kami masih menunggu putusan di pengadilan Filipina,” kata Ketua Migrante International Filipina Garry Martinez, yang mendampingi Celia. Kesaksian Mary dibutuhkan di pengadilan Manila dalam perkara Maria Kristina.
Masalah serupa dihadapi oleh kaum migran yang terseret kasus kriminal di Singapura. Pengacara hak asasi manusia asal Singapura, M. Ravi, mengatakan problem bahasa, tiadanya pendampingan pengacara, minimnya dukungan jaringan anti hukuman mati, dan minimnya transparansi menjadi masalah serius di negara kota itu. Padahal, “Di Singapura, 25-50 persen yang divonis mati adalah orang asing,” ujarnya.
Tahun ini, menurut Death Penalty Worldwide, Pemerintah Singapura setidaknya mengekskusi dua terpidana mati. Tapi Pemerintah Singapura tidak mengumumkan secara resmi hukuman mati tersebut. Tahun lalu, negara itu mengeksekusi 4 terpidana mati.
Selama kongres di Oslo sejumlah pembicara menyoroti Asia, termasuk Indonesia. Asia masih menjadi kawasan merah yang “melanggengkan” hukuman mati. Dua per tiga dari eksekusi mati di seluruh dunia terjadi di Asia. Amnesty International menyebutkan tahun lalu 1.634 orang lebih dieksekusi mati karena berbagai kasus kejahatan, 89 persen di antaranya dieksekusi di Iran, Pakistan, dan Arab Saudi. Pakistan mengeksekusi 326 terpidana mati setelah sempat dimoratorium pada Desember 2014.
Jumlah yang dieksekusi tahun lalu tidak termasuk di Cina, yang dikenal tertutup soal eksekusi mati. Jumlah yang dieksekusi ini meningkat 54 persen dibanding tahun sebelumnya (termasuk eksekusi di Cina). Jumlah eksekusi di Cina mencapai ribuan, tapi negara tersebut tidak transparan sehingga sulit diakses informasinya oleh media dan lembaga-lembaga internasional.
Sedangkan Indonesia di bawah pemerintahan Joko Widodo tahun lalu mengeksekusi 14 terpidana mati perkara narkotik. Sejak 1998 sampai tahun ini, menurut data The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), di Indonesia terdapat 210 terpidana mati yang menunggu eksekusi (death row). Adapun yang sudah dieksekusi 42 terpidana dan yang divonis hukuman mati pada periode itu mencapai 276 orang.
Sampai akhir 2015, 103 negara telah menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Kini masih 58 negara dan teritorial yang menjalankan hukuman mati, termasuk Indonesia, Amerika Serikat, Iran, Irak, dan Cina. Di Eropa, tinggal Belarus yang masih mempertahankan hukuman mati. Tampaknya akan ada perubahan di negara pecahan Uni Soviet itu.
Sejumlah negara di Asia juga mulai menghapus atau mengurangi hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidananya. Parlemen Mongolia pada Desember tahun lalu, menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Mongolia Altantuya Batdorj, telah menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Undang-undang ini baru mulai berlaku efektif September tahun ini. "Kami butuh waktu 20 tahun untuk menghapus hukuman mati di Mongolia," kata dia.
Di Cina, pada Desember lalu, telah mengurangi 9 jenis kejahatan, dari 55 menjadi 46 kriminalitas yang dapat dihukum mati termasuk penyelundupan senjata, amunisi, bahan nuklir, atau pemalsuan uang. Vietnam juga menghapus 7 kejahatan, dari 22 menjadi 15, yang dapat divonis mati. Peraturan baru ini mulai berlaku 1 Juli tahun ini. Malaysia juga mempertimbangkan kembali hukuman mati.
Sedangkan pemerintah Indonesia justru menambah daftar kejahatan yang dapat dihukum mati dalam revisi KUHP yang kini di bahas di parlemen. Menurut peneliti senior The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Bhatara Ibnu Reza, hukuman mati saat ini masih termuat dalam 13 undang-undang. Adapun KUHP memuat 15 jenis kejahatan yang bisa dihukum mati. “Dalam revisi KUHP hukuman mati bukannya dihapus malah jenis kejahatan yang dapat dihukum mati ditambah menjadi 26,” kata Bhatara di Oslo.
Bagi Bhatara, penegak hukum yang korup dan besarnya dukungan masyarakat terhadap hukuman mati menjadi masalah yang pelik. “Reformasi hukum pidana dengan pendekatan hak asasi manusia sangat mendesak dibutuhkan,” dengan menambahkan bahwa masalah Indonesia tidak bisa dipandang sebagai masalah satu negara. Membutuhkan kerja sama global untuk mendesak pemerintah Indonesia menghapus hukuman mati.
Pemerintah Indonesia disarankan belajar ke negara-negara yang telah menghapus hukuman mati. Demikian disampaikan oleh pengacara Indonesia, Todung Mulya Lubis, yang hadir dalam kongres di Oslo. Apalagi, kata dia, kejahatan narkotika oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak digolongkan sebagai kejahatan luar biasa. Pilihan bagi Indonesia, menurut Todung, apakah akan masuk ke dalam kelompok negara yang masing melaksanakan hukuman mati seperti Pakistan, Cina, Arab Saudi, Iran, atau masuk ke kelompok negara yang telah menghapus negara hukuman mati seperti negara Eropa.
“Pilihannya menjadi negara yang menghormati martabat manusia atau sebaliknya. Pemerintah Indonesia jangan mengisolasi diri, apalagi sebagai negara mayoritas berpenduduk Muslim di dunia dan negara demokrasi terbesar nomor tiga di dunia,” ujarnya.
Todung menyarankan Presiden Joko Widodo membentuk tim independen internasional untuk meneliti hukuman mati di Indonesia. Seperti di Malaysia, langkah ini perlu dilakukan agar pemerintah memiliki dasar yang kuat untuk mengambil kebijakan terkait dengan hukuman mati. Sebab, kata Todung, selama ini hukuman mati dan eksekusi mati dipengaruhi oleh opini publik. “Masalahnya opini publik di Indonesia tidak pernah terbentuk secara obyektif,” kata Todung.
Apalagi hukuman mati kerap dijadikan instrumen politik seperti menaikkan popularitas pemimpin negara atau menghantam pihak-pihak yang tidak disukai. Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ansori Sinungan juga menyoroti eksekusi mati kerap dijadikan alat politik oleh pemerintah yang berkuasa. Karena itu, kata dia, langkah yang bisa diambil Indonesia adalah moratorium eksekusi mati. “Hukumannya bisa diubah menjadi seumur hidup dan undang-undang yang melegalkan hukuman mati perlu diubah,” ujarnya.
Hukuman mati selama ini kerap dianggap dapat melahirkan efek jera dan menurunkan angka kejahatan. Benarkah hukuman mati menurunkan angka kejahatan?
Profesor hukum Columbia Law School Universitas Columbia Amerika Serikat Jeffrey Fagan menjawab dengan tegas bahwa pandangan itu keliru. “Tidak ada bukti empiris bahwa ada efek jera dari eksekusi mati itu. Bukti-bukti yang diajukan sangat cacat,” kata peneliti yang puluhan tahun meneliti hukuman mati.
Menurut Fagan, orang yang melakukan kejahatan dengan risiko divonis hukuman mati memiliki motivasi yang lebih besar dibanding kekhawatiran kemungkinan eksekusi. Dalam kasus narkotik, mereka juga memperhitungkan dengan cermat risiko ditangkap dan dieksekusi.
Argumen ini didasarkan pada riset ilmiah. Fagan pada 2009 menerbitkan hasil penelitianya yang membandingkan tingkat pembunuhan di Singapura dan Hong Kong sejak 1967-2007. Dua kota ini hampir serupa tapi berbeda dalam hal eksekusi mati. Singapura menjalankan hukuman mati untuk sejumlah kejahatan, Hong Kong menghapus hukuman mati sejak 1993. “Tapi tren pembunuhan di dua kota hampir serupa lebih dari 35 tahun setelah 1973. Eksekusi di Singapura tidak menurunkan angka kejahatan,” ujarnya.
Eksekusi mati tidak hanya mencabut nyawa terpidana dari badan, tapi juga tertutupnya kemungkinan meninjau ulang vonis hukuman mati yang kemungkinan keliru atau menghukum orang yang sebenarnya tidak bersalah.
Lewat pesan video di Oslo, PausFransiskus menegaskan hukuman mati tidak sejalan dengan tujuan penghukuman. Hukuman mati juga tidak memberikan keadilan bagi korban, melainkan memupuk dendam. “Perintah ‘jangan membunuh’ memiliki nilai mutlak dan berlaku baik bagi orang yang tidak bersalah maupun bersalah,” kata Paus. “Tidak boleh dilupakan bahwa penjahat juga memiliki hak hidup yang diberikan oleh Tuhan.”
AHMAD NURHASIM (OSLO)