TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kesehatan memberi saran untuk orang tua yang khawatir atau curiga anaknya mendapatkan vaksin palsu. Kekhawatiran tersebut muncul seusai peredaran vaksin ilegal yang diungkap oleh Bareskrim Mabes Polri pada 23 Juni lalu.
“Mereka dapat mendatangi dokter atau fasilitas pelayanan tempat anaknya mendapat layanan imunisasi,” ujar Menteri Kesehatan Nila Djoewita Moeloek, dalam keterangan tertulisnya, Senin, 27 Juni 2016.
Jika terbukti palsu, Nina mengatakan, anak akan diberikan imunisasi ulang. Menurut dia, yang terpenting adalah selalu mengamati timbulnya reaksi setelah pemberian imunisasi dan melaporkannya ke petugas kesehatan. “Umumnya gejala atau reaksi ikutan ini timbul tidak lama setelah diimunisasi,” katanya.
Nina berujar, hingga saat ini pihaknya belum menemukan atau menerima laporan adanya kejadian reaksi pasca-imunisasi setelah isu vaksin palsu merebak. Nina pun menyampaikan hasil investigasi terbaru terkait dengan peredaran vaksin ilegal itu.
Pertama, tak ada pemalsuan vaksin Bio Farma. Sebab, menurut pengakuan pelaku yang tertangkap, vaksin tersebut hanya digunakan untuk oplosan pembuatan vaksin palsu. “Vaksin yang dipalsukan hanya vaksin impor yang harganya mahal, yaitu vaksin produksi Sanofi Pasteur dan GSK,” katanya.
Sedangkan jenis vaksin impor yang dipalsukan adalah vaksin Engerix-B (vaksin untuk Hepatitis B) untuk anak dan dewasa, vaksin Havrix 720 (vaksin Hepatitis A), dan vaksin Pediacel, yaitu vaksin kombinasi untuk Pertusis, Difteri, Tetanus, Hib, dan IPV.
Kementerian pun segera berkoordinasi dengan Komite Ahli Imunisasi, pihak Sanofi, dan GSK untuk menyusun rencana tindak lanjut. Rencana tersebut adalah melakukan estimasi pemakaian atau penjualan vaksin impor di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk memperhitungkan dampak dari vaksin palsu itu.
Selanjutnya, menyusun rencana pelacakan kemungkinan keberadaan vaksin palsu di daerah-daerah dan mendata balita yang sudah menerima vaksin palsu. Menurut Nina, perlu juga dilakukan perumusan bersama jadwal vaksinasi yang harus dilakukan kepada anak yang mendapatkan vaksin palsu.
Terakhir, membuat ciri-ciri vaksin palsu secara lebih rinci atau detail untuk disosialisasikan ke seluruh Indonesia, sehingga masyarakat dapat dengan mudah membedakannya dengan yang asli. “Jika bisa dengan foto-foto sehingga lebih jelas,” ujar Nina.
GHOIDA RAHMAH