TEMPO.CO, Bandung - Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat Alma Lucyati mengatakan kasus vaksin palsu terungkap karena ditemukan penyakit yang seharusnya tidak muncul seusai vaksinasi di salah satu rumah sakit di Bogor. “Kok, daerah itu ada penyakit tersebut, apakah anak-anak di sana tidak diimunisasi?" ucapnya kepada Tempo, Senin, 27 Juni 2016.
Alma berujar, pelacakan berjenjang dilakukan dari kasus penyakit yang ditemui di Bogor tersebut. Akhirnya, diketahui pemasok vaksin itu ternyata tidak tercantum sebagai daftar distributor resmi vaksin yang ada dalam catatan Kementerian Kesehatan. Polisi lalu mengambil alih pelacakan hingga menangkap sepasang suami-istri yang diduga produsen vaksin palsu itu.
Menurut Alma, Dinas Kesehatan Jawa Barat sejak lama merancang sistem pencatatan penggunaan vaksin. Nomor batch vaksin hasil pengadaan Kementerian Kesehatan yang dikirim ke Jawa Barat tercatat. “Nama sopirnya, kapan, perusahaan yang mengirimnya, dan nomor mobil yang mengantarnya ada,” ucapnya.
Di gudang penyimpanan Dinas Kesehatan dilakukan pencatatan lebih rinci lagi. Vaksin yang dikirim ke kabupaten/kota juga dicatat rinci lagi. “Mau keluar gudang saya, ada checklist lagi, dikirim ke kabupaten mana, tanggal berapa, oleh siapa dikirimnya, diterima siapa di sana, nomor batch-nya berapa saja. Saya bisa ngecek nomor batch ini ada di daerah mana,” ujar Alma.
Alma menuturkan daerah juga diminta mencatat penggunaannya dengan rinci. “Kalau ngasih ke rumah sakti, ke puskesmas, nomor (batch) sekian jatuh ke rumah sakit anu, puskesmas anu. Puskesmas sana juga mengirim ke posyandu ini dengan nomor sekian. Di posyandu juga ditulis untuk si anak anu nomor batch sekian,” katanya.
Dinas Kesehatan Jawa Barat juga rutin mendapat daftar tanggal produksi vaksin dari Bio Farma, produsen vaksin itu. “Penggunaan vaksin bisa dilacak,” ucapnya.
Menurut Alma, saat salah satu kasus penyakit muncul di satu daerah memancing kecurigaan. Jadi diputuskan dilakukan pelacakan berjenjang vaksinasi yang dilakukan daerah tersebut hingga akhirnya diketahui vaksin yang digunakan berasal dari distributor yang tidak tercatat dalam daftar penyalur vaksin resmi Kementerian Kesehatan.
Alma mengklaim, selama rumah sakit serta fasilitas layanan kesehatan menggunakan vaksin yang diperoleh dari dinas kesehatan setempat, tidak mungkin dibobol vaksin palsu. “Dari dulu, standar distribusi vaksin kita sudah ada, baku. Kalau tidak meleng, pasti ketahuan. Kalau dilanggar, akan ketahuan,” ujarnya.
Kendati demikian, diakuinya masih ada celah masuknya vaksin palsu, yakni lewat layanan kesehatan swasta. “Swasta di sini maksudnya beli sendiri vaksinnya. Bisa saja di rumah sakit swasta, klinik. Sekarang juga ada bidan imunisasi, perawat imunisasi di klinik-klinik,” ujar Alma.
Alma menuturkan sistem pencatatan yang dibangun itu sulit ditembus distributor vaksin palsu. “Dengan sistem ini, tersensor. Nembusnya sebenarnya susah, kecuali sekelompok orang kecil-kecil yang mencari untung,” katanya.
Alma berujar, saat ini Dinas Kesehatan meminta semua fasilitas layanan kesehatan mengecek lagi vaksin yang dimilik. “Beli dari mana itu, karena hanya satu distributor yang ngaco. Dia membuat distributor sendiri yang tidak sah,” ucapnya.
Alma menuturkan orang tua yang khawatir soal keaslian vaksin anaknya bisa mengeceknya di tempat anaknya menjalani vaksinasi. “Bisa dicek. Ngeceknya di tempat dulu dia diimunisasi, bisa dilacak,” katanya.
Menurut Alma, jika orang tua masih khawatir juga, sang anak bisa imunisasi ulang. “Ulang lagi aja, enggak apa-apa. Kalau enggak yakin, ulang aja, enggak usah takut,” ucapnya.
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengaku masih menunggu laporan perkembangan kasus vaksin palsu di wilayahnya. “Belum ada laporan khusus. Nanti saya tanyakan kepada Dinas Kesehatan,” ujarnya, Senin, 27 Juni 2016.
AHMAD FIKRI