TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek menentang dan tidak menoleransi peredaran vaksin palsu belakangan ini. “Ini membahayakan kesehatan,” katanya dalam konferensi pers di kantor Kementerian Kesehatan, Jumat, 24 Juni 2016.
Ada lima jenis vaksin palsu yang beredar, yaitu Tubercullin, Pediacel, Tripacel, Harfix, dan Biosef. Kasus ini ditemukan di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. "Kami sudah perintahkan jajaran kami untuk mengusut kasus ini,” kata Nila.
Hingga saat ini, Kementerian Kesehatan belum mendapatkan laporan dari masyarakat yang terkena dampak dari vaksin palsu. Menurut Nila, cairan infus dampaknya tidak berat, jumlah yang disuntikkan hanya setengah mililiter. Pemerintah pun akan memberikan imunisasi ulang.
Nila mengatakan vaksin palsu yang sudah diteliti mengandung cairan infus dan antibiotin gentamisin. Dampak pemberian cairan itu tidak terlalu membahayakan. Yang lebih dikhawatirkan adalah proses pembuatannya yang diduga tidak steril. "Jika tidak steril, dapat mengakibatkan infeksi,” kata Nila.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, Aman Bhakti Pulungan, mengatakan efek samping imunisasi bergantung pada cairan apa yang diberikan. Mendukung pernyataan Nila, yang paling mengkhawatirkan adalah cara pembuatan vaksin palsu ini, “Kalau kandungannya (vaksin palsu) hanya cairan infus dan antibiotik, kerugian paling besar adalah anak, karena tidak mendapat kekebalan tubuh,” ujarnya.
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Maura Linda Sitanggang mengatakan Kementerian Kesehatan sudah membuat edaran ke seluruh rumah sakit agar menggunakan vaksin yang benar. “Jika ditemukan (vaksin palsu), akan dilakukan tindakan hukum,” kata Linda.
Menurut Linda, pembelian mayoritas vaksin menggunakan cara yang resmi adalah lewat produsen dan distributor yang resmi. Kejadian pemalsuan vaksin itu diduga dilakukan oleh pihak minoritas. "Kami mengimbau pengadaan vaksin seyogianya diambil dari produsen dan distributor resmi,” katanya.
CHITRA PARAMAESTI | MITRA