TEMPO.CO, Yogyakarta - Institut Seni Indonesia Yogyakarta menggelar tadarus kebudayaan bertajuk Maiyah Badar di halaman UPT kampus tersebut, Senin malam, 20 Juni 2016. Pengajian kultural ini dilakukan sebagai bagian dari gerakan menolak penyebaran ide-ide khilafah Organisasi Masyarakat Hizbut Tahrir Indonesia.
Alumni, mahasiswa, seniman, dan warga Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, tumplek dalam acara itu. Ada juga sejumlah pembicara, yakni Rektor ISI Agus Burhan; seniman Ong Hari Wahyu; Dosen Fakultas Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Achmad Munjid; dan Lurah Panggungharjo Sewon Bantul, Wahyudi.
Ada 300-an orang mengikuti acara itu di bawah terang bulan purnama. Mereka duduk di atas tikar. Ada juga yang berdiri di bawah pohon trembesi yang rimbun dan berukuran besar. Musik gamelan Jawa dari komunitas seni asal Gunungkidul mengiringi pengajian. Mahasiswa ISI juga membacakan puisi-puisi K.H. Mustofa Bisri, yang akrab dipanggil Gus Mus.
Satu di antara penggagas acara, A. Anzieb, mengatakan maiyah berarti kebersamaan. Sedangkan badar berarti purnama. Menurut dia, forum-forum silaturahmi penting digelar untuk menangkal penyebaran ideologi HTI yang anti-Pancasila di kampus ISI dan lingkungan sekitarnya.
ISI merupakan kampus yang tidak spesifik untuk kalangan umat Islam, tapi dari beragam agama. "Ajaran khilafah HTI tidak cocok diterapkan di lingkungan kampus seni itu. HTI anti-Pancasila, tidak menghargai keberagaman, dan anti-demokrasi," kata A. Anzieb kepada Tempo.
Gerakan HTI di ISI, kata alumni Fakultas Seni Rupa ISI itu, telah lama masuk ke ruang-ruang kuliah. Mereka menyebarkan ajaran khilafah melalui brosur di meja-meja dosen. Ada pula yang masuk lewat pengajian di Masjid Al-Mukhtar, ISI. Kalangan kampus menolak HTI karena mengancam kebebasan berekspresi, yang di antaranya melarang menggambar bentuk tubuh manusia. HTI juga mengkampanyekan syariat Islam.
Pada masa Nabi Muhammad, nabi umat muslim, menggambar manusia tidak diperbolehkan bila tujuannya menjadikannya sebagai berhala. Itu terjadi pada zaman jahiliah atau zaman kegelapan.
Menurut Anzieb, seni Indonesia berangkat dari sejarah seni Nusantara yang menghargai keberagaman. Dia mencontohkan para wali yang berdakwah menggunakan kesenian wayang dan musik. "Dalam kesenian itu, ada nilai-nilai kemanusiaan. Jadi kenapa HTI mempersoalkan dan menjadikannya haram?" tutur Anzieb.
Sebelumnya, 300-an mahasiswa, dosen, dan alumni ISI menggelar aksi menolak HTI di halaman rektorat ISI, Jumat siang, 17 Juni 2016.
SHINTA MAHARANI