TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Desmond Junaidi Mahesa mengatakan pertemuan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan tidak berakhir dengan omong kosong. Desmond berujar, seharusnya momen itu untuk mengadu data dalam kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras.
"Yang jadi soal lagi, pertemuan itu tidak hanya omong kosong. Harus buka data, biar tidak ada kesan ada hantu (dalam kasus itu)," ucap Desmond di gedung DPR, Jakarta, Selasa, 21 Juni 2016.
Desmond menganggap telah terjadi egoisme sektoral dua lembaga tersebut. Ia mempertanyakan sikap KPK yang telah meminta audit investigasi BPK tapi menilai tidak ada kerugian negara dari audit tersebut. Menurut dia, hal ini berdampak pada perkara yang diusut KPK yang berawal dari audit BPK. "Bagaimana dengan data yang sudah digunakan KPK," tutur politikus Partai Gerakan Indonesia Raya tersebut.
DPR, kata Desmond, berusaha menjaga dua lembaga tersebut agar tidak rusak. Ia berharap kedua lembaga dapat beradu fakta dan data terkait dengan kasus tersebut. BPK, kata dia, mencoba mengaudit sebelum kebijakan pembelian lahan diterbitkan. "Inilah yang tidak dilakukan KPK secara tuntas," ucapnya.
Hal yang sama diungkapkan politikus Partai Golongan Karya, Bambang Soesatyo. Menurut Bambang, KPK tidak bisa mengacuhkan temuan BPK. Sebabnya, audit BPK banyak digunakan dalam kasus yang diusut KPK hingga ke pengadilan. "Kami minta KPK terus dorong ini ke penyidikan kalau memang ditemukan bukti yang cukup dan kuat," ujar Bambang.
Senin kemarin, pimpinan KPK menggelar pertemuan dengan BPK di gedung BPK. Pertemuan ini membahas perbedaan persepsi di antara dua lembaga negara itu terkait dengan pembelian lahan RS Sumber Waras oleh pemerintah DKI Jakarta.
Sengketa Sumber Waras bermula saat BPK menyatakan proses pembelian lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras senilai Rp 800 miliar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan 2014 tidak sesuai dengan prosedur. Pemerintah DKI Jakarta dianggap telah melakukan pembelian dengan harga lebih mahal daripada seharusnya sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 191 miliar. KPK belum melihat indikasi kerugian negara dan indikasi korupsi dalam kasus ini. KPK juga menjamin belum menghentikan penyelidikannya.
ARKHELAUS W.