TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti menanggapi pihak yang menggugat Presiden Joko Widodo atas terpilihnya Komisaris Jenderal Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri.
"Apa haknya menggugat? Itu hak Presiden," kata Badrodin di kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta Selatan, Jumat, 17 Juni 2016.
Baca Juga:
Badrodin menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, disebutkan syarat menjadi calon Kapolri, selain perwira tinggi aktif, adalah karier dan kepangkatan. "Tidak ada di situ unsur senioritas," katanya.
Ia menuturkan, jenjang karier maksudnya bakal calon Kapolri sudah mengikuti tahapan-tahapan pendidikan. Badrodin juga memenuhi syarat dari sisi penugasan operasional dan pembinaan.
"Itu semua lengkap," ujar Badrodin. Soal kepangkatan, kata dia, tentu memperhatikan pangkat di level Kapolri, yakni bintang tiga.
Sejumlah orang yang mengatasnamakan Masyarakat Pemerhati Kepolisian (Mapol) menggugat keputusan Presiden Joko Widodo yang menunjuk Komisaris Jenderal Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri. "Presiden telah menyalahi prosedur pengangkatan Kapolri," kata Rudi Kabunang, salah satu penggugat, kepada Tempo pada Kamis, 16 Juni 2016.
Menurut dia, seharusnya Jokowi memilih calon Kapolri dari nama yang diajukan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) Polri, yaitu Komisaris Jenderal Budi Gunawan, Komisaris Jenderal Budi Waseso, dan Komisaris Jenderal Syafruddin.
Rudi khawatir penunjukan Tito sebagai Kapolri akan berimplikasi pada soliditas dalam lembaga kepolisian. Sebab, nama Tito tidak ada dalam bursa calon Kapolri yang diajukan. Menurut Rudi, pengusulan Tito sebagai calon tunggal juga dapat merusak regenerasi di kepolisian.
Jika Tito terpilih sebagai Kapolri, Rudi telah memangkas lima generasi di angkatan lulusan akademi kepolisian. Diperkirakan ini akan berdampak pada kinerja polisi yang tidak efektif karena telah menabrak undang-undang dan tradisi organisasi yang berlaku.
REZKI ALVIONITASARI/AVIT HIDAYAT