TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Dalam Negeri menjelaskan dari 3.143 peraturan daerah (perda) yang dibatalkan, tidak ada yang mengenai soal intoleransi dan diskriminatif.
"Perda yang dianggap intoleran dan diskriminatif tidak termasuk 3.143 perda," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Yuswandi A. Temenggung di Jakarta pada Jumat, 17 Juni 2016.
Pernyataan itu disampaikan terkait dengan kasus razia Satuan Polisi Pamong Praja terhadap pemilik warung makan di Kota Serang, Banten, beberapa hari lalu. Petugas berdalih menjalankan Perda Nomor 2 Tahun 2010 yang mengatur larangan bagi setiap pengusaha restoran, rumah makan atau warung, dan pedagang untuk menyediakan tempat dan melayani makanan dan minuman pada siang hari selama Ramadan
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Soni Sumarsono mengatakan perda yang saat ini dibatalkan 58 persen terkait dengan masalah investasi, izin retribusi, jasa usaha, dan izin mendirikan bangunan. Perda pelayanan publik mencapai 10 persen, dan perda pengalihan urusan badan usaha milik daerah mencapai 32 persen.
Satu faktor penting pembatalan perda tersebut adalah untuk menyesuaikan kebijakan pemerintah Presiden Joko Widodo. Perlambatan ekonomi yang terjadi sejak 2015 membuat Jokowi ingin memacu pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan menarik investasi asing.
Baca Juga:
Paket kebijakan I-XII pun dikeluarkan untuk merangsang kegiatan investasi dan bisnis. "Nah, paket kebijakan I-XII itu perlu segera kami back-up dengan membatalkan perda-perda yang menghambat investasi," kata Sumarsono.
Dugaan perda yang dibatalkan Kemendagri, termasuk perda yang diduga intoleran dan diskriminatif salah satunya datang dari Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Almuzzammil Yusuf.
Menurut Muzzammil, saat ini pemda, DPRD, dan masyarakat mempertanyakan informasi yang beredar bahwa perda yang dicabut termasuk perda yang berisi tentang moralitas, religiusitas, dan yang sesuai dengan kearifan lokal.
“Kita menghormati kekhasan Bali untuk Nyepi sebagai bagian dari Bhinneka Tunggal Ika, maka kita harus hormati juga fenomena kearifan lokal di daerah-daerah lain,” kata Muzzammil memberi contoh.
Sejumlah daerah memang memiliki perda bernuansa keagamaan, seperti syariat Islam di Aceh, perda Hindu di Bali, dan perda Kristen di Papua.
Di Aceh ada qanun yang berisi peraturan dengan mengambil syariat Islam, sedangkan di Bali ada peraturan berisi ketentuan berhenti beraktivitas selama Hari Raya Nyepi, dan di Papua ada peraturan menghormati Hari Minggu dengan melarang masyarakat berjualan.
Sumarsono mengatakan untuk saat ini, fokus Kemendagri adalah membatalkan perda yang terkait dengan investasi dan pelayanan publik. "Arahan kami fokus ke ekonomi dulu, karena tuntutan pengusaha dan pelaku usaha komplain terkait lambatnya pelayanan pengurusan perizinan, banyaknya perizinan yang harus dilewati dan pintu-pintu," katanya.
Ke depannya, kata dia, perda yang akan dibenahi adalah perda yang dianggap masyarakat intoleran dan diskriminatif. Berbeda dengan perda perizinan investasi dan pelayanan publik yang bisa langsung dibatalkan; perda yang dianggap intoleran dan diskriminatif dilakukan dengan proses yang berbeda, yaitu melalui penyempurnaan.
Sumarsono mencontohkan, kasus perda di Serang di mana pihaknya memanggil Wali Kota dan Biro Hukum Kota Serang. "Kita ajak duduk bersama, mereka bilang, iya betul ada yang salah, jadi ada pemahaman di sana. Di sana muncul usulan penyempurnaan terbatas perda," katanya.
AMIRULLAH