TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat sulit memahami sinyal bahaya bencana yang diberikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yaitu waspada, siaga, dan awas.
"Istilah itu sulit dipahami masyarakat dan kurang efektif," kata Daniel Dakhidae, doktor ilmu politik dan pengamat media, ketika berbicara dalam sebuah workshop di Jakarta, Senin, 13 Juni 2016.
Menurut Daniel, istilah waspada, siaga, dan awas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna yang campur baur. Arti awas dalam kamus adalah waspada, tajam, atau tingkat tertinggi dalam sinyal yang dimiliki BNPB.
Padahal, jika melihat arti waspada dalam kamus, ditemukan makna berhati-hati dan awas. Ia menilai, sudah terjadi kekacauan memaknai istilah sinyal yang selama ini dipakai BNPB.
Daniel mengatakan tiga istilah yang digunakan BNPB menjadi persoalan yang sangat serius apabila sinyal itu tidak direspons. Ia menilai, sinyal warna lebih efektif. Ia mencontohkan tiga warna yang bisa digunakan adalah merah, kuning, dan hijau.
Daniel mengatakan merah bisa diartikan sebagai sinyal sangat berbahaya. Kuning bisa dimaknai sebagai tanda bahaya, sementara hijau adalah kondisi normal. Ia menambahkan, warna itu juga dipakai pihak kepolisian untuk mengatur lalu lintas. “Mumpung ada Pak Topo (Humas BNPB) di sini, pakailah warna,” katanya.
Daniel menilai, BNPB punya kekuatan untuk menginformasikan potensi bencana kepada masyarakat. BNPB pun memiliki otoritas mengevakuasi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.
Kewenangan BNPB dalam mengabarkan informasi berbeda dengan surat kabar yang tidak memiliki otoritas. Karena itu, kata dia, informasi sinyal potensi bencana menjadi hal yang sangat penting.
DANANG FIRMANTO