TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Hukum dari Fraksi NasDem Akbar Faizal menyampaikan kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tentang adanya pendompleng dalam Rancangan Undang-Undang Tax Amnesty. Padahal, kata dia, pemerintah sedang kesulitan lantaran rendahnya pendapatan negara dan berupaya mencari terobosan pemasukan lewat pengampunan pajak ini.
"Ada yang mendompleng di belakangnya. Saya mendengar ada 10 wajib pajak besar di belakangnya. Apa bedanya ini dengan dana aspirasi," kata Akbar saat Rapat Dengar Pendapat di Komisi Hukum DPR, Selasa, 14 Juni 2016.
Ketua Komisi Hukum DPR Bambang Soesatyo menanyakan kepada Akbar siapa yang mendompleng tersebut. "Siapa itu? Di mana?" tanya politikus Golkar yang sedang memimpin rapat itu.
Menurut Akbar, ada seseorang yang membahas Rancangan Undang-Undang Tax Amnesty ini mendapat kewenangan mengurus 10 wajib pajak terbesar di daerah pemilihannya. "Belum yang lain-lain lagi," ujarnya. Padahal, kata dia, penyelenggara negara seharusnya mengerahkan semua kreatifitasnya untuk menambal pemasukan negara.
Saat ini, RUU Tak Amnesty masih dalam pembahasan tim Panitia Kerja DPR. Sebelumnya, Ketua Panja tersebut, Soepriyatno, mengatakan bahwa pemerintah memberikan usulan baru terkait masa berlakunya tax amnesty. Sebelumnya, tax amnesty akan berlaku sampai 31 Desember 2016.
Namun, menurut Soepriyatno, pemerintah mengusulkan agar penerapan tax amnesty diperpanjang menjadi sepuluh bulan. Apabila RUU Tax Amnesty itu berlaku mulai Juli mendatang, kebijakan tersebut akan diterapkan hingga Mei 2017.
Sementara itu, untuk tarif tebusan tax amnesty, juga terdapat usulan baru dari pemerintah. Menurut Soepriyatno, usulan itu adalah 2 persen, 3 persen, dan 5 persen bagi aset repatriasi serta 4 persen, 6 persen, dan 10 persen bagi aset deklarasi.
LINDA TRIANITA| ANGELINA ANJAR SAWITRI