TEMPO.CO, Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menghukum Abdul Khoir selama empat tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider lima bulan kurungan. Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama itu dinyatakan terbukti telah menyuap anggota Komisi V DPR Damayanti Wisnu Putranti dan Budi Supriyanto terkait dengan proyek infrastruktur jalan pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
"Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berulang," kata ketua majelis hakim Mien Trisnawati saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 9 Juni 2016.
Hakim menyatakan Abdul Khoir terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 65 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ia juga terbukti menyuap empat anggota Komisi V DPR. Mereka adalah Damayanti Wisnu Putranti dari PDI Perjuangan, Budi Supriyanto dari Partai Golkar, Andi Taufan Tiro dari Partai Amanat Nasional, dan Musa Zainuddin dari Partai Kebangkitan Bangsa. Abdul juga dinyatakan terbukti menyuap Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional IX wilayah Maluku dan Maluku Utara Amran HI Mustary.
Abdul Khoir menyuap kelima orang tersebut dengan jumlah yang bervariasi. Amran menerima uang sebesar Rp 15,606 miliar dan Sin$ 223.270, serta satu telepon genggam iPhone 6 senilai Rp 11,5 juta. Abdul juga membantu Joni Laos untuk memberikan uang kepada Amran sebesar Rp 1,5 miliar.
Lalu Andi Taufan menerima uang dari Abdul sebesar Rp 2,2 miliar dan Sin$ 462.789. Musa Zainudin menerima Rp 4,8 miliar dan Sin$ 328.377. Damayanti menerima Sin$ 328 ribu dan US$ 72.727. Terakhir, Budi Supriyanto menerima Sin$ 404 ribu. Semua uang suap tersebut dimaksudkan untuk memuluskan langkah Abdul Khoir mendapatkan proyek infrastruktur jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Majelis hakim mengatakan Hal-hal yang memberatkan terdakwa karena Abdul Khoir dinilai tidak mendukung program pemberantasan korupsi, menghambat pembangunan jalan di Maluku, serta merusak keseimbangan antara DPR dengan pemerintah.
Sedangkan hal-hal yang meringankan terdakwa karena sopan dan menghormati peradilan, berterus terang, mengaku bersalah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, masih muda sehingga dapat memperbaiki diri, serta memiliki keluarga di antaranya anak yang masih kecil.
Hukuman Abdul Khoir ini lebih berat dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum. Jaksa menuntut Abdul Khoir dengan hukuman 2,5 tahun penjara serta denda Rp 200 juta. Jika ia tak bisa membayar denda tersebut, hukuman itu diganti dengan lima bulan kurungan.
Saat persidangan, Abdul Khoir mengajukan permohonan sebagai justice collaborator. Tapi, Mien Trisnawati mengatakan hakim menolak permohonan justice collaborator yang diajukan Abdul Khoir. Sebab, kata dia, peran Abdul Khoir sebagai pelaku utama dianggap tidak tepat menjadi justice collaborator. "Majelis hakim berpendapat penetapan JC sesuai keputusan pimpinan KPK adalah tidak tepat, sehingga tidak dapat dijadikan pedoman," kata Mien.
Seusai sidang, Abdul Khoir tidak bersedia berkomentar kepada awak media. Saat dikonfirmasi, ia bungkam dan langsung ke luar ruangan sidang.
Pengacara Abdul Khoir, Haeruddin Masaro mengatakan kliennya akan mempertimbangkan mengajukan banding atas putusan majelis hakim tersebut. "Kami serahkan kepada klien karena dia bilang akan pikir-pikir," kata Haeruddin seusai sidang. Ia mengatakan kliennya memiliki waktu seminggu untuk menyatakan banding.
MAYA AYU PUSPITASARI