TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Roichatul Aswidah meminta Panitia Khusus Revisi Undang-Undang tentang Tindak Pidana Terorisme menghapus Pasal 43 huruf a dari draf rancangan undang-undang. Pasal ini mengatur bahwa penyidik dapat mencegah orang yang diduga akan berbuat teror dengan cara menempatkannya ke suatu tempat tertentu selama enam bulan.
Roichatul mengatakan, dalam prinsip HAM, masa penahanan harus berlangsung cepat. "Tidak boleh lama-lama karena ada potensi penyiksaan," kata Roichatul dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat di Gedung DPR, Jakarta, Kamis, 9 Juni 2016.
Menurut Roichatul, semua orang yang ditahan sudah pasti kemerdekaannya tercabut. Karena itu, mereka harus mengetahui alasan sehingga ditangkap, penahanannya sesuai dengan prosedur, serta pemenuhan semua hak-haknya.
Roichatul menilai persoalan terorisme merupakan masalah kompleks, sehingga, kata dia, jika penegak hukum terpaksa membutuhkan masa penahanan yang panjang terhadap seorang terduga pelaku, cukup kembali ke peraturan pemerintah pengganti undang-undang. "Berarti kembali ke yang lama, tidak ada tambahan," kata dia.
Dia menyarankan, bila tetap membutuhkan masa penahanan yang panjang, harus ada badan independen yang mengawasi kinerja kepolisian. "Termasuk saat penangkapan," ujarnya.
Dia mengingatkan, selama ini Komnas HAM banyak menemukan pelanggaran hak asasi dalam penanganan terorisme. "Unsur penyiksaan menjadi yang paling banyak ditemukan," ujarnya.
AHMAD FAIZ