TEMPO.CO, Malang - Sekitar 2.500 warga lima desa dari tiga kecamatan di Kabupaten Malang bagian selatan berunjuk rasa di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat, Rabu, 8 Juni 2016. Unjuk rasa dikawal sekitar 200 personel kepolisian, termasuk Brigade Mobil serta satu unit kendaraan taktis dan mobil water canon. Pintu masuk gedung DPRD dibatasi dengan kawat berduri.
Warga datang menggunakan sekitar 25 truk, belasan sepeda motor, dan beberapa mobil pribadi. Mereka berasal dari Desa Simojayan, Kecamatan Ampelgading; Bumirejo, Kecamatan Dampit, serta tiga desa di Kecamatan Tirtoyudo, yakni Tirtoyudo, Tlogosari, Kepatihan.
Warga yang menamakan diri Forum Komunikasi Tani Malang Selatan (Forkotmas) itu menyuarakan tuntutan lahan Kebun Kalibakar seluas 2.050 hektare. Lahan yang membentang di lima desa tersebut, dibagikan kepada warga karena hak guna usaha (HGU) PTPN XII sudah habis pada 31 Desember 2013. Sengketa tanah itu sudah berlangsung sejak 1998.
Warga juga menuntut PTPN XII mencabut laporan di Kepolisian Daerah Jawa Timur agar pemeriksaan terhadap rekan mereka dihentikan. Pada 15 Desember 2015 Manajer Kebun Kalibakar Sanuri melaporkan 25 warga dari enam desa ke Polda Jawa Timur dengan tuduhan penyerobotan lahan.
Sembilan orang perwakilan warga, termasuk lima kepala desa, diterima Wakil Ketua DPRD Unggul Nugroho dan Ketua Komisi A (Bidang Pemerintahan, Hukum, dan Perundang-undangan) Darmadi dan seluruh anggota Komisi A. Turut hadir beberapa pejabat Pemerintah Kabupaten Malang, seperti Kepala Bagian Hukum Subur Hutagalung.
“Kami ke sini bukan mau anarkistis, tapi memperjuangkan tanah kami sejak 1998 dan minta polisi untuk membatalkan pemeriksaan 25 teman kami,” kata Didik Putranta, koordinator lapangan aksi.
Kepala Desa Bumirejo Sugeng Wicaksono, yang ikut dilaporkan, mengatakan dirinya memenuhi panggilan Polda Jawa Timur pada 26 Mei lalu. Ia dicecar 30 pertanyaan selama empat jam pemeriksaan. Sugeng menjelaskan kepada polisi agar tidak melihat kasus tanah Kalikabar hanya dari satu perspektif hukum. Sebagian warga Desa Bumirejo merasa berhak mengelola tanah tersebut karena HGU yang dipunyai PTPN XII sudah habis.
“HGU PTPN XII itu juga patut dipertanyakan. Dalam risalahnya mengatasnamakan wilayah Desa Amadanom (Kecamatan Dampit), tapi kenapa HGU-nya pakai nama desa kami,” ujar Sugeng.
Ketua Komisi A Darmadi menyatakan bahwa DPRD tetap membela warga Kalibakar. Politikus PDI Perjuangan ini menjelaskan, sebelum warga Kalibakar berunjuk rasa, Komisi A sudah mendatangi Kementerian Badan Usaha Milik Negara di Jakarta untuk memperjelas kasus tanah Kalibakar dan menyampaikan tuntutan warga.
Komisi A juga meminta Kementerian BUMN untuk memerintahkan manajemen PTPN XII untuk mencabut laporan di Polda Jatim. Namun, Kementerian BUMN secara tersirat masih menyatakan tanah Kalibakar sebagai milik mereka meski HGUnya sudah berakhir.
PTPN XII pernah mengajukan perpanjangan HGU pada 2014, tapi hingga sekarang HGU baru belum diperoleh. “Sampai sekarang PTPN XII tidak mengantongi izin perpanjangan HGU Kalibakar. Semoga ini bisa jadi kabar yang menggembirakan bagi warga,” ujar Darmadi.
Untuk menyelesaikan sengketa tanah Kalibakar makin tak mudah lantaran saham mayoritas (90 persen) PTPN XII sudah dikuasai PTPN III yang berkantor pusat di Medan, Sumatera Utara. Saham yang dipunyai PTPN XII tinggal 10 persen. Dengan saham sekecil itu, manajemen PTPN XII tak berani mengambil keputusan. Karena itu, sehabis Lebaran nanti, Komisi A bersama perwakilan warga akan mendatangi kantor PTPN III di Medan.
ABDI PURMONO