TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan keputusan presiden yang menetapkan 1 Juni 1945 adalah Hari Peringatan Kelahiran Pancasila. Mulai 2017, pada 1 Juni akan dijadikan hari libur nasional.
Meski negara sudah bersikap memperingati hari kelahiran Ideologi bangsanya, tapi ketua pendiri Yayasan Universitas Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri, menilai, itu belum sempurna. Menurut Rachma, penetapan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni belum sempurna jika TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno belum dihapus.
"Oleh sebab itu saya menginginkan ketetapan tersebut ditiadakan. Ini bertentangan. Satu sisi Bung Karno ditetapkan sebagai pahlawan nasional, di sisi lain TAP MPRS yang menyebutnya sebagai pengkhianat negara tak kunjung dicabut," kata Rachmawati saat memperingati 115 tahun Sukarno di Universitas Bung Karno, Jakarta, Senin, 6 Juni 2016.
Menurut adik Megawati ini, TAP MPRS yang menyebut Sukarno terlibat dalam Gerakan 30 September merupakan pencemaran nama baik bagi Sukarno.
"Bagaimana bisa, Sukarno yang kabarnya hendak dikudeta malah terlibat dalam aksi tersebut dan melawan Pancasila yang ia buat sendiri. Saya heran TAP MPRS warisan Orde Baru ini tak kunjung dicabut, pada 2003 pemerintah sempat meninjau ulang sejumlah TAP MPRS, namun tak menyinggung sama sekali TAP MPRS 33 Tahun 1967," kata Rachma.
Pada 2011, pihaknya telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi mengenai TAP MPRS tersebut, tapi MK tidak berani mengambil tindakan.
Dia mengatakan TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 tersebut membuat nama, ajaran, dan paham sang proklamator dikebiri pemerintah Orde Baru.
Hal tersebut juga berdampak pada dia saat mendirikan Universitas Bung Karno. "Saya mendirikan UBK saja perlu menunggu sampai 16 tahun. Ketika zaman Habibie baru diizinkan," ucapnya.
Dia menginginkan bangsa Indonesia kembali ke UUD 1945 dan asas Pancasila.
"Sekarang paham kita cenderung liberal kapitalistik. Itu yang ditentang Bung Karno. Pancasila tidak akan bisa berjalan kalau kita masih berbau kapitalistik," ucapnya.
ANTARA