TEMPO.CO, Yogyakarta - Petrus Kanisius Harjo Sudiro, 80 tahun, tengah bersantai ditemani kucing kesayangannya. Ia duduk di sebuah dipan yang berada persis di balik pintu depan rumahnya di Kampung Mancasan, Kecamatan Wirobrajan, Kota Yogyakarta.
Di samping dipan itu terdapat sebuah meja yang berserak buku dan benda seperti kitab suci berbahasa Jawa juga telepon seluler Nokia lawas. Persis di depan pintu rumah itu, tampak motor tua merek Suzuki. Kata Harjo, motor berkelir hijau kombinasi putih itu seolah ingin menyambut siapa saja yang datang. “Ini keluaran tahun 1977,” katanya saat ditemui Tempo, Senin, 6 Juni 2016.
Pensiunan guru mata pelajaran kimia di SMA Kolese De Britto itu tengah menjadi viral di dunia maya. Suami dari Theresia Sutanti, 79 tahun, itu tenar karena motor bututnya terjual melalui sebuah lelang online yang digelar para bekas muridnya di De Britto. Suzuki tua berhasil dilelang Rp 36,4 juta. "Saya mengira kalau bisa laku Rp 3 juta saja sudah sangat bagus, kok malah sampai segitu," ujar ayah satu anak itu.
Ceritanya, lelang tertinggi motor itu hanya Rp 15 juta. Namun gara-gara para bekas muridnya ingin ikut menyumbang, akhirnya terkumpul dua kali lipat lebih. Motor tua yang menemani Harjo selama 40 tahun terakhir itu 'terpaksa' dilelang bukan karena desakan kebutuhan. Harjo melelangnya karena ia sudah tak bisa mengurus perpanjangan surat izin mengemudi (SIM).
Motor itu pun masih rutin diservisnya setengah tahun sekali. Ia mendapat motor itu saat masih aktif sebagai guru. Seorang romo kepala sekolah De Britto yang memberikannya. "Dulu diminta pakai motor sama romo, dipinjami Rp 300 ribu, lalu saya cicil Rp 15 ribu per bulan 20 kali," ujar Harjo.
Namun bukan lantaran harga penjualan motor tuanya yang selangit itu yang membuat Harjo menjadi perbincangan. Pria yang mengabdi 27 tahun sebagai guru di De Britto (1969-1996) itu bukan orang tamak. Ia memilih menyumbangkan lebih dari separuh hasil lelang motornya untuk membantu operasional panti asuhan yang menampung anak-anak cacat ganda.
Padahal, Harjo lima tahun ini mengidap sakit jantung dan diharuskan dokter memakai alat pacu. Uang pensiun yang ia terima hanya Rp 1,1 juta per bulan. "Baru siang tadi saya transfer di ATM, masing-masing Rp 10 juta," ujar Harjo. Panti asuhan itu ada dua tempat. Satu berada di Berbah, Kabupaten Sleman, dan satu lagi di Kota Malang, Jawa Timur.
Tak sampai disitu, Harjo juga akan menyumbangkan lagi hasil penjualan motor itu pada gereja lingkungannya. Ia tak berniat membeli motor baru karena para muridnya De Britto sudah membelikannya sepeda listrik untuk wira-wiri. "Tinggal menunggu motornya diambil yang menang lelang, saya enggak tahu orangnya, tapi tinggal di Jakarta dan bekas murid saya juga," ujar Harjo.
Sisa duit penjualan motor itu baru akan digunakan Harjo untuk kebutuhannya. Antara lain membetulkan sumur rumahnya yang rusak. Harjo menuturkan, niatnya menyumbang ke panti asuhan muncul begitu saja. "Namanya kebangetan kalau saya memakai uang sebanyak itu sendiri," ujarnya.
Harjo mengaku tak berharap apa-apa di usia senjanya saat ini. Ia menyumbang karena menganggap anak-anak di panti asuhan itu yang pantas menerima. "Anak-anak itu kan masih berhak punya harapan, saya sudah tua, tak berharap apa-apa," ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO