TEMPO.CO, Madiun – Koordinator Subkomisi Pemantauan dan Investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Siane Indriani, mengatakan ada dua kendala yang menyebabkan orang sakit jiwa hidup dalam pasungan. "Pertama pada pelaksananya mulai dari kepala desa, dinas sosial, dan dinas kesehatan. Kedua pada keluarganya,’’ kata Siane saat dihubungi Tempo, Senin, 6 Juni 2016.
Menurut dia, koordinasi para pihak tersebut belum berjalan maksimal sehingga program penyembuhan yang dijalankan pemerintah berjalan lambat. Pihak keluarga, Siane melanjutkan, kurang memahami bahwa sakit jiwa bisa diobati secara medis.
Mereka juga merahasiakan apabila ada anggota keluarganya yang mengalami masalah disabilitas jiwa. "Karena malu dan mengganggap penyakit ini adalah kutukan,’’ ujarnya.
Di sisi lain, pihak pemerintah desa, kelurahan dan instansi terkait lainnya kesulitan mendata orang yang mengalami gangguan jiwa. Kondisi ini, kata Siane, berpengaruh pada minimnya jumlah pasien disabilitas jiwa yang dirawat di rumah sakit.
Di Jawa Timur yang melaksanakan program bebas pasung, misalnya, kapasitas maksimal Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur, Surabaya sebanyak 300 pasien namun hanya terisi 200 orang. Jumlah pasien yang diketahui Komnas HAM pertengahan Mei lalu berbanding terbalik dengan program pemberian obat gratis yang dijalankan rumah sakit setempat.
RSJ Menur Surabaya, merupakan salah satu tempat yang didatangi tim Komnas HAM saat melakukan investigasi orang sakit jiwa dalam pasungan bulan lalu di Jawa Timur. Sebelum ke sana, Siane dan beberapa staf Komnas HAM mendatangi warga yang mengalami disabilitas jiwa di Ponorogo, Blitar, Lamongan, dan Sampang.
Menurut Siane, dari kunjungan ke sejumlah kabupaten itu pihaknya mengetahui beberapa penyebab lain sehingga pemasungan orang sakit jiwa masih ada. Dari 14 orang yang dikunjungi mayoritas karena keluarganya takut orang disabilitas mengamuk.
Sehingga keluarganya memilih mengambil jalan pintas dengan memasung. "Keluarga tidak sabar. Padahal, pengobatan bagi mereka butuh waktu lama dan bisa saja seumur hidup,’’ kata Siane.
Ketidaksabaran keluarga dalam proses pengobatan orang sakit jiwa, katanya, karena terbentur masalah biaya. Mayoritas di antara mereka hidup di bawah garis kemiskinan dan hanya ditopang oleh seorang nenek yang sudah renta. Kondisi ini seperti yang diketahui Komnas HAM di Desa Bulurejo, Desa Carangrejo, Kecamatan Sampung, Ponorogo.
Suyatno, kepala dusun setempat mengatakan tiga warganya yang menderita sakit jiwa sengaja dibelenggu oleh keluarganya karena membahayakan orang lain. Saat belenggu dilepas, mereka sering mengamuk dengan memecah kaca rumah dan memukuli warga. "Kami berharap, kalau memang mereka bisa disembuhkan, ya, disembuhkan. Kalau tidak, agar kesejahteraan keluarga ditingkatkan,” katanya.
Penderita sakit jiwa, kata Suyatno, hidup di bawah garis kemiskinan. Keluarga tidak bisa memeriksakan penderita tersebut ke rumah sakit khusus secara rutin karena terbentur biaya. Bahkan dua di antara penderita hanya hidup bersama ibunya yang sudah renta.
NOFIKA DIAN NUGROHO