TEMPO.CO, Jakarta - Menghilangnya Royani yang merupakan sopir dari Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dinilai mengganggu penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi. "Tentu saja (mengganggu). Royani termasuk yang mengetahui aktivitas keseharian Pak Nurhadi," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Jakarta, Senin, 30 Mei 2016.
KPK tengah menyelidiki peran Nurhadi pasca-operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Eddy Nasution dan Doddy Arianto Supeno, pegawai PT Arta Pratama Anugerah. Keduanya ditangkap penyidik KPK pada 20 April 2016.
Upaya yang ditempuh KPK, antara lain mencegah Nurhadi untuk bepergian ke luar negeri dan menggeledah rumahnya di Jalan Hang Lekir pada 21 April 2016. Selain rumah, KPK juga menggeledah kantor Nurhadi di gedung MA. KPK mendapati pecahan mata uang asing yang diduga terkait dengan pengurusan sejumlah kasus.
Alexander enggan mengungkapkan apakah keterangan Royani dapat membuktikan bahwa Nurhadi terkait dengan sejumlah kasus yang sedang berperkara di MA. "Kalau (hubungan) itu masih perlu didalami lagi karena orangnya (Royani) belum ketemu, belum ditanya," ungkap Alexander.
Royani sudah diberhentikan MA karena lebih dari 30 hari tidak masuk kantor. "Kami minta bantuan kepada siapa saja yang mengetahui keberadaan Royani. Masyarakat bisa melaporkan, wartawan juga bisa. Selain itu, KPK juga minta bantuan kepada aparat lain, dari kepolisian dan Imigrasi untuk melacak keberadaan Royani. KPK berharap Royani segera melaporkan diri untuk dimintai keterangannya," kata Alexander.
Hari ini Nurhadi kembali diperiksa KPK sebagai saksi. Ini merupakan pemeriksaan yang kedua kali. Nurhadi juga diperiksa Komite Etik MA, yang hasilnya dianggap tidak memiliki hubungan dengan pengurusan perkara di MA.
Alexander menambahkan, kesimpulan itu tidak mempengaruhi jalannya penyidikan di KPK. "Dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan KPK sama sekali tidak terpengaruh dengan hasil pemeriksaan etik yang dilakukan oleh komite etik sebuah lembaga," ungkap Alexander.
Adapun Royani sudah dua kali dipanggil KPK. KPK menduga Royani adalah orang yang menjadi perantara penerima uang dari sejumlah pihak yang punya kasus di MA. Satu konglomerasi bisnis diduga terlibat kasus ini karena sejumlah anak perusahaannya tengah berperkara di Mahkamah Agung.
Doddy Arianto Supeno diduga sebagai orang yang menangani sejumlah perkara tersebut dan melaporkan kepada induk konglomerasi bisnis itu. KPK menetapkan Doddy Edy Nasution sebagai tersangka. Edy dijerat Pasal 12-a atau Pasal 12-b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Keduanya terancam hukuman 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Sebagai pemberi suap, Doddy Aryanto Supeno, dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Doddy terancam pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
ANTARA | MUHAMMAD RIZKI