TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) soal hukuman kebiri yang baru saja dikeluarkan Presiden Joko Widodo adalah hal yang percuma. Perpu itu dianggap gagal menjawab permintaan publik terkait dengan kajian, analisis, dan data mengenai jumlah vonis pidana bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
"Bagi kami perpu ini bukan hanya percuma, tapi juga memalukan," kata peneliti dari ICJR, Erasmus Napitupulu, di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Ahad, 29 Mei 2016.
Menurut Erasmus, Presiden tidak memahami bahwa pendekatan pidana hanya cocok untuk diterapkan di negara barbar. Ini bisa dilihat dari banyaknya pelaku kejahatan seksual yang muncul setelah pemberatan itu dijatuhkan.
Erasmus mengatakan pemberatan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual tidak efektif. Efek jera yang ditimbulkan juga tidak ada. "Setelah perpu ini disahkan, apa kekerasan seksual berhenti?" katanya.
Founder Inspirasi Indonesia, Helga Worotitjan, mengatakan pemerintah seharusnya lebih fokus untuk menangani korban. Sebab pola kekerasan seksual adalah seperti mata rantai. "Pelaku saat ini kebanyakan dulunya adalah korban," ucapnya.
Menurut dia, pemerintah harus memutus rantai itu dengan memberikan rehabilitasi kepada korban hingga pulih. Helga mengibaratkan kekerasan seksual seperti jika kita memukul anak. Kekerasan yang dilakukan kepada seorang anak akan ditiru dikemudian hari.
Di sisi lain, hukuman pidana bagi pelaku sama dengan menyiram air saat kebakaran. Api padam, tapi sumbernya bisa timbul lagi sewaktu-waktu.
MAYA AYU PUSPITASARI