TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan eksekusi kebiri bagi terpidana kasus kejahatan seksual terhadap anak akan dibebankan kepada dokter. Yasonna mengatakan kalangan medis tak bisa mengelak bila sudah menjadi putusan pengadilan. “Itu kan perintah hukum. Kita semua patuh hukum,” katanya di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis, 26 Mei 2016.
Menteri Yasonna memahami eksekusi, pada pidana tambahan, berupa hukuman kebiri melahirkan perdebatan di kalangan dokter. Alasannya, etika seorang dokter ialah menyembuhkan, bukan memberi rasa sakit. Namun di beberapa negara masih ada yang menerapkan hukuman mati lewat cara suntikan. Hal itu, kata dia, tetap dilakukan.
Di sisi lain, kebiri kimia merupakan hukuman tambahan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Yasonna menganggap hukuman tambahan sepenuhnya menjadi wewenang hakim. Hakim tentu tidak akan sembarang menjatuhkan hukuman tambahan kepada pelaku. Ada pertimbangan tersendiri bagi hakim sebelum menjatuhkan putusan. “Hakim melihat pelaku sudah kebangetan, berulang-ulang. Putusan hakim tidak mudah, pasti panggil ahli,” tuturnya.
Menurut Yasonna, teknis eksekusi vonis kebiri akan dalam bentuk peraturan turunan, seperti peraturan presiden. Namun ia berharap Dewan Perwakilan Rakyat bisa menerima perpu yang sudah diterbitkan.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan eksekusi hukuman kebiri bisa saja dilakukan dokter kepolisian.
Kemarin, Presiden Joko Widodo sudah meneken Perpu Perlindungan Anak, yang di dalamnya berisi hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Presiden Joko Widodo mengatakan terbitnya perpu karena pemerintah memandang genting kekerasan seksual terhadap anak yang dianggap makin meningkat.
ADITYA BUDIMAN