TEMPO.CO, Yogyakarta - Sepuluh tahun lalu, tepatnya 26 Mei 2006, gempa bumi besar menggoyang kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta selatan yang menimbulkan kerusakan meluas dan korban jiwa. Tantangan terbesar saat ini untuk pengurangan risiko bencana gempa bumi di DIY ialah menjaga ingatan dan kewaspadaan masyarakat.
Karena itu, integrasi strategi pengurangan risiko bencana dengan aspek kebudayaan menjadi penting. "Dulu proses pemulihan pascagempa di DIY lebih cepat daripada daerah lain juga karena faktor budaya," ujar Kepala Pusat Studi Bencana UGM Djati Mardiatno, Kamis, 26 Mei 2016.
Djati berasumsi, DIY sejak dulu sudah rawan gempa, sehingga kemungkinan besar budaya kewaspadaan terhadap bencana ini telah hidup sejak ratusan tahun lalu. Djati mencontohkan struktur rumah tradisional di DIY yang umumnya tak memakai sambungan paten dengan paku. Tiap rangka kayu disambung dengan pasak. Tiap sambungan biasanya dibalut kain untuk bantalan.
Struktur seperti ini, menurut Djati, menunjukkan upaya masyarakat pada masa lampau membuat rangka rumahnya lebih lentur dan fleksibel saat menghadapi guncangan. "Struktur rumah limasan ternyata ada gunanya. Atap rumah bisa tak langsung roboh menimpa penghuninya saat terkena guncangan," ujarnya.
Arsitektur rumah menentukan pengurangan risiko bencana karena korban jiwa mudah muncul lantaran bangunan yang rapuh. Djati mencatat, saat gempa bumi 2006, mayoritas korban di kawasan Bantul meninggal dunia akibat terkena runtuhan bangunan.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika DIY Tony Agus Wijaya menuturkan publik perlu menerima edukasi terus-menerus mengenai potensi kegempaan. Apalagi, di DIY, pemicu gempa bumi muncul dari dua sumber. Keduanya ialah jalur subduksi di bawah laut selatan dan sesar yang aktif di daratan.
Dalam kondisi ini, strategi pengurangan risiko bencana yang efektif ialah mendorong masyarakat mengenal potensi kegempaan secara memadai. "Publik di DIY harus diajak berharmoni dengan bencana," kata Tony.
Kini BMKG sedang menyempurnakan pemetaan potensi bencana gempa dengan meneliti karakter sesar aktif. Sejak dua tahun lalu, BMKG mendirikan empat stasiun pengamatan aktivitas sesar di Gamping, Playen, Piyungan, dan Pundong. "Proses penelitiannya masih berlangsung. Hasilnya akan segera kami informasikan ke publik," ucap Tony.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM