TEMPO.CO, Jakarta - Peran orang tua kian minim di era serba teknologi saat ini. Berdasarkan survei terbaru dari Setara Institute tentang toleransi siswa SMA negeri di Jakarta dan Bandung Raya, siswa kini lebih dekat dengan Internet ketimbang orang tua.
"Internet praktis telah mengikis peran orang tua, waktu siswa lebih banyak di sekolah, pulang sudah jarang ketemu," ujar Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naispospos di Cikini Raya, Jakarta, Selasa, 24 Mei 2016.
Sebanyak 41 persen atau 310 siswa dari total 760 responden dikatakan mengakses Internet lebih dari lima jam sehari. Laporan penelitian juga menyebutkan 87,8 persen siswa menggunakan Internet untuk memperoleh pengetahuan agama. Namun di pertanyaan lain menunjukkan agama bukan topik yang tren dibicarakan di media sosial.
Sedangkan dalam melihat peran sekolah, survei menunjukkan olahraga dan kerohanian, baik Islam maupun Kristen (rohis/rokris), adalah dua jenis kegiatan ekstrakurikuler favorit siswa, masing-masing sebesar 37,1 persen dan 21,6 persen. Sebagai alternatif, 44 persen siswa dikatakan mengikuti kajian keagamaan di luar sekolah. Topik kesalehan pribadi menjadi yang dominan dibahas. Namun diperoleh juga 7 persen yang membahas masalah sosial dan politik.
Siswa responden didominasi beragama Islam sebesar 88 persen. Dengan usia 15-19 tahun. Laki-laki merupakan terbesar, yaitu 57 persen dan perempuan 43 persen.
Pengetahuan keagamaan siswa oleh guru didapatkan angka 39,9 persen. Dan orang tua sebesar 23,2 persen. Hasil tersebut menunjukkan guru merupakan salah satu sektor yang perlu memperoleh perhatian lebih, selain kurikulum, model pembelajaran, dan siswa itu sendiri.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listiyarti menganggap secara umum siswa sudah tak bermasalah dengan perbedaan suku dan ras, melainkan dengan agama. "Tapi siswa jauh lebih mudah diubah dari pada guru. Guru jauh lebih menghambat, entah faktor usia atau apa," ujar dia. Dia menyarankan penelitian selanjutnya menempatkan guru sebagai responden intoleransi.
Survei itu menyimpulkan 61,1 persen dari 760 siswa yang masuk kategori toleran, 35,7 persen intoleran pasif (puritan), 2,4 persen yang intoleran aktif, dan 0,3 persen atau 3-4 orang dikatakan berpotensi menjadi teroris.
AKMAL IHSAN | JH