TEMPO.CO, Kediri - Kejaksaan Negeri Kota Kediri, Jawa Timur, akan mengajukan banding atas putusan pengadilan setempat terhadap Soni Sandra, pelaku kasus pencabulan anak. Jaksa menilai vonis 9 tahun penjara kepada Soni terlalu ringan karena jumlah anak yang menjadi korban cukup banyak.
Kepala Kejaksaan Negeri Kota Kediri Benny Santoso mengatakan vonis 9 tahun bui dan denda Rp 250 juta tak memenuhi rasa keadilan. Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Kota Kediri yang diketuai Purnomo Amin itu lebih ringan empat tahun ketimbang tuntutan jaksa, yakni 13 tahun penjara. “Hukuman itu belum menimbulkan efek jera,” kata Benny, 20 Mei 2016.
Ia berharap Pengadilan Tinggi Jawa Timur menjatuhkan hukuman sesuai dengan tuntutan jaksa. Sebab, apa yang dilakukan pengusaha jasa konstruksi PT Triple S tersebut menimbulkan trauma terhadap anak-anak di bawah umur, serta menghancurkan masa depan mereka.
Perbuatan Soni Sandra—perusahaannya sempat membangun Monumen Simpang Lima Gumul milik Pemerintah Kabupaten Kediri—dianggap menimbulkan keresahan masyarakat. Jaksa penuntut umum saat ini tengah menyusun memori banding untuk diajukan ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur.
Soal vonis ini, Ina, kakak korban yang berinisial FI, berharap pengadilan bisa menjatuhkan hukuman 13 tahun penjara. “Adik saya trauma dan sempat mau bunuh diri,” kata Ina. Ia menambahkan, adiknya sekarang lebih suka menutup diri. FL juga terpaksa keluar dari sekolah menengah pertama tempat ia belajar karena diejek teman-temannya.
Pengadilan Negeri Kota Kediri memvonis Soni Sandra dua hari lalu. Majelis hakim menyimpulkan terdakwa mengalami kelainan seksual, yakni pedofilia, yang membutuhkan penyembuhan. Hakim Purnomo Amin menyatakan tindakan hubungan seksual yang disertai bujuk rayu kepada tiga anak yang dilakukan Soni sudah terbukti, meski terdakwa membantahnya.
Adapun kuasa hukum terdakwa, Sudirman Sidabuke, mengaku kecewa atas putusan yang dijatuhkan majelis hakim. Menurut dia, fakta di persidangan telah terkontaminasi dengan ekspose yang muncul di masyarakat hingga menyudutkan terdakwa sebagai pelaku kejahatan seksual. Padahal dalam faktanya, tidak ditemukan adanya upaya pemaksaan, perkosaan, maupun pengaruh macam-macam yang dilakukan terdakwa terhadap korban.
Demikian pula perihal gaya hidup korban yang menuntut pemenuhan keuangan dari terdakwa sebagai motif persetubuhan dinilai tak masuk akal terjadi di Kediri yang notabene kota kecil. “Banyak unsur yang tak dipenuhi,” katanya.
Sudirman juga mempertanyakan penerapan Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana soal penggabungan tindak pidana oleh terdakwa yang tak konsisten. Sebab seharusnya perkara yang disidangkan di Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri dan Kota Kediri dijadikan satu.
Pengadilan Kota Kediri menyidangkan tiga korban, sedangkan pengadilan Kabupaten Kediri menyidangkan empat korban. Belakangan dua dari empat korban menarik laporan.
Akibat pemisahan berkas perkara ini, ancaman hukuman yang diterima terdakwa menjadi sangat tinggi. Di Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, ia dituntut 14 tahun penjara. Demikian pula denda yang diminta kejaksaan kota sebesar Rp 250 juta masih ditambah denda kejaksaan kabupaten sebesar Rp 300 juta.
“Padahal maksimal hukuman dalam KUHP adalah 20 tahun, maksimal hukuman UU Perlindungan Anak hanya 15 tahun,” kata Sudirman. Meski keberatan, belum diputuskan apakah tim kuasa Soni Sandra akan mengajukan banding atau tidak.
HARI TRI WASONO