TEMPO.CO, Surabaya - Penasihat hukum La Nyalla Matalitti kembali menghadirkan saksi ahli ilmu hukum dari Universitas Indonesia, Chodry Sitompul, di Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu, 18 Mei 2016. Sehari sebelumnya, kuasa hukum La Nyalla juga mendatangkan saksi ahli dari Universitas Jenderal Soedirman, Noor Aziz Said. Ini merupakan sidang praperadilan kedua La Nyalla, yang diajukan anaknya, Mohammad Ali Afandi. Hingga kini La Nyalla masih diburu kejaksaan.
“Kami menghadirkan satu lagi ahli,” kata penasihat hukum La Nyalla, Sumarso.
Dalam kesaksiannya, Chodry menyampaikan pemeriksaan kembali kasus korupsi dana hibah secara berulang-ulang meskipun sudah ada putusan pengadilan. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur memang sudah dua kali mengeluarkan surat penetapan tersangka atas nama La Nyalla. Dua kali pula, praperadilan dilaksanakan untuk memeriksa kasus itu. Chodry menganggap hal ini sebagai tidak adanya kepastian hukum.
“Seharusnya ada surat edaran dari Mahkamah Agung bagaimana eksekusi praperadilan agar tidak dilakukan berulang-ulang,” kata Chodry.
Baca: Saksi Ahli La Nyalla Bingung Pertanyaan Jaksa
Chodry mengatakan sebagaimana, asas legalitas yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, putusan hakim memiliki dasar hukum mengikat sehingga harus dipatuhi. Dia menyebut tindakan jaksa yang kembali menetapkan La Nyalla Matalitti sebagai tersangka sebagai tindakan tidak taat. “Kalau jaksa tidak patuh, sama dengan melanggar sumpah jabatan,” ucapnya.
Chodry juga membahas persoalan legal standing seorang anak mengajukan praperadilan untuk ayahnya. "Boleh saja," ujarnya. Dia menggunakan pendekatan hukum sistematis dari Pasal 79 KUHAP. Dari situ, Choudry mengatakan, keluarga bisa mengajukan tidak sahnya penangkapan dan penahanan. Kemudian obyek praperadilan diperluas dalam putusan MK Nomor 21 Tahun 2014, termasuk penetapan tersangka bisa diajukan praperadilan. “Secara otomatis, pengertian Pasal 79 keluarga bisa mengajukan praperadilan untuk penetapan tersangka,” kata Chodry.
Baca: Bolehkah Anak Ajukan Praperadilan untuk Orang Tuanya?
Choudry menambahkan, penetapan tersangka sah apabila ada dua alat bukti yang cukup. Sehingga praperadilan, menurut Choudry, tidak hanya sebatas memeriksa administrasi saja. Menurut dia, harus diperiksa juga apakah perolehan alat bukti sesuai dengan prosedur.
Menanggapi 'serangan' dari saksi ahli La Nyalla, kuasa hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Bambang Budi Purnomo, menyanggah disebut melanggar sumpah jabatan. Menurut dia, tidak ada aturan yang baku bagaimana eksekusi putusan praperadila, dan itu dibenarkan oleh ahli. “Masak kita mau eksekusi diri kita sendiri,” kata Bambang.
Seusai persidangan, Hakim Tunggal Mangapul Girsang mengetuk palu satu kali. Sidang dilanjutkan pada Kamis, 19 Mei 2016, dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari termohon, yaitu Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Selama empat kali sidang berlangsung, Mohammad Ali Afandi tidak pernah hadir dalam sidang.
Adapun Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur La Nyalla Matalitti memenangi praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka korupsi dana hibah Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur pada April 2016 lalu. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur kembali menjadikannya tersangka atas perkara yang sama ditambah dengan kasus tindak pidana pencucian uang. Lantaran La Nyalla masih di Singapura, kali ini dia mengajukan praperadilan kembali dengan menggunakan nama anaknya, yaitu Mohammad Ali Afandi, sebagai pemohon.
Baca: Kejaksaan Jawa Timur Kebingungan Berburu La Nyalla
La Nyalla terjerat dalam kasus korupsi dana hibah Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur untuk membeli saham perdana Rp 5,3 miliar dari Bank Jatim pada 2012. Keuntungan dari pembelian saham itu senilai Rp 1,1 miliar. Dana hibah itu berasal dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada 2011-2014 senilai Rp 48 miliar. La Nyalla juga ditetapkan sebagai tersangka Tindak Pidana Pencucian Uang atas dana hibah itu.
SITI JIHAN SYAHFAUZIAH