TEMPO.CO, SEMARANG - Anggota Komisi Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat, Abdul Fikri Faqih, meminta agar Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir, mengevaluasi sistem pembayaran uang kuliah tunggal (UKT), yang diberlakukan di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) sejak tiga tahun terakhir ini.
Sistem pembayaran UKT dinilai telah memberatkan para mahasiswa. “Sudah selayaknya pemerintah bersama kampus mengevaluasi sistem UKT yang masih memberatkan mahasiswa,” kata Abdul Fikri di Semarang, Rabu, 18 Mei 2016.
Politikus PKS ini memberi masukan kepada pengelola kampus dan pemerintah. Beberapa masukan itu adalah kampus tidak boleh lagi menaikkan UKT untuk golongan masyarakat tidak mampu, kampus melibatkan pemangku kepentingan dalam proses penentuan UKT terutama mahasiswa, menyediakan kesempatan banding yang adil untuk penyesuaian UKT bagi mahasiswa di setiap semester, penyederhanaan penggolongan UKT, serta interval UKT yang proporsional dan konsisten.
Sistem pembayaran kuliah UKT mulai diberlakukan sejak tahun akademik 2013/2014 di semua PTN di Indonesia. Kebijakan ini merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Setiap semester, mahasiswa membayar uang kuliah sesuai dengan golongannya dengan nominal yang sama. Fikri menemukan ada banyak mahasiswa yang ekonominya masuk kategori kurang mampu tapi dikenai tarif UKT yang tinggi.
Di beberapa kampus di Kota Semarang, mahasiswa menggelar unjuk rasa menolak kebijakan UKT, seperti di Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang dan Universitas Diponegoro Semarang.
Kepala Bidang Humas Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang Azim Asykari mengatakan mahasiswa menolak kenaikan UKT.
“Kampus harus bisa dijangkau rakyat miskin,” katanya. UKT terendah di Undip sebesar Rp 500 ribu per semester. Adapun yang tertinggi Rp 7 juta tiap semester.
Untuk menentukan besaran golongan, mahasiswa menyampaikan beberapa lampiran, seperti pendapatan orang tua, rekening listrik dan air, serta foto kondisi dalam rumah.
Aktivis UIN Walisongo Semarang, Alfan Khoirul, mengatakan pelaksanaan UKT hingga kini belum tepat sasaran karena penggolongannya tidak sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga.
UKT merupakan biaya kuliah tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonomi. Namun di lapangan ada juga pembayaran di luar UKT, seperti penarikan biaya tambahan Kuliah Kerja Lapangan (KKL).
Padahal, kata Alfan, Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 55 Tahun 2013 Pasal 5 menyatakan PTN tidak boleh memungut uang pangkal dan pungutan lain selain UKT dari mahasiswa S1 dan D3 mulai tahun 2013-2014. "Jadi Menteri Pendidikan harus segera mengevaluasi UKT," kata Alfan.
ROFIUDDIN