TEMPO.CO, Surabaya - Tim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya membeberkan beberapa dampak dari semburan lumpur akibat pengeboran oleh PT Lapindo Brantas Inc pada 2006.
Ketua tim lapangan, Amien Widodo, menyebutkan, terdapat penurunan tanah (subsidence) dan retakan-retakan di sekitar area sumur baru. “Kami sudah mengukur penurunan tanah. Sekarang masuk tahap verifikasi hasil penelitian,” kata Amien kepada Tempo di ITS, Selasa, 17 Mei 2016.
Pengukuran subsidence dilakukan di tiga lokasi bakal pengeboran, yakni Desa Kalidawir, Banjarasri, dan Kedungbanteng. Kawasan di selatan pusat semburan lumpur Lapangan Banjar Panji juga diukur penurunan tanahnya.
Tim yang dibentuk atas instruksi Gubernur Jawa Timur Soekarwo itu, menurunkan puluhan penelitinya dalam tiga gelombang sejak akhir Februari 2016. Mereka mengkaji di tiga desa, yakni di Desa Kedungbanteng, Desa Banjarasri, dan Desa Kalidawir. Tiap tim meneliti topik yang berbeda, mulai pengukuran penurunan tanah, penelitian kondisi bawah permukaan, hingga survei persepsi sosial masyarakat.
Berdasarkan hasil kajian tim, sejak awal semburan, terdapat penurunan tanah. Terakhir pada 2010, tim ITS mencatat adanya penurunan tanah sekitar 5 sentimeter setiap tahun akibat tragedi tersebut. Yang paling signifikan terlihat ialah di sekitar Jalan Raya Porong yang kini telah membentuk cekungan. “Deformasi itu masih terjadi,” ucap Amien.
Menurut Amien, selain penurunan tanah, terjadi retakan-retakan bawah permukaan tanah di tiga desa tersebut. Hal itu terlihat dari hasil sementara pemindaian (scanning) menggunakan georadar sampai kedalaman 200 meter di bawah permukaan tanah. “Penurunan tanah dan retakan akan semakin memperparah keadaan.”
Begitu juga dengan hasil sementara kajian persepsi sosial masyarakat. Hampir 80 persen warga di tiga desa itu menolak pengeboran sumur baru di Lapangan Tanggulangin. Hasil tersebut tak jauh berbeda dengan yang tercantum dalam izin lingkungan yang sempat dikemukakan pejabat sementara Bupati Sidoarjo, Jonathan Judianto, pada Februari lalu, sebesar 78 persen.
Namun Amien tak mau mengungkapkan detail temuan setiap timnya. Ia hanya mengatakan pihaknya masih melakukan verifikasi dari tiap temuan dalam kurun waktu tiga sampai empat minggu. “Nanti hasil akhir penelitiannya biar Pak Gubernur yang mengumumkan,” katanya.
Rencananya, hasil akhir penelitian tim kajian kelayakan tersebut dilaporkan kepada Gubernur Soekarwo pada akhir Mei mendatang. “Sekarang masih tahap verifikasi,” tutur Amien.
Semula, rangkaian kegiatan pengeboran tiga sumur baru, yakni TGA-1, TGA-2, dan TGA-4, dimulai pada Maret 2016. Namun aktivitas pengurukan tanah untuk sementara dihentikan akibat protes warga.
Warga Kedungbanteng menolak saat Lapindo menguruk dan memadatkan tanah yang menjadi kegiatan awal pengeboran (drill site preparation). Mereka merasa trauma akibat semburan lumpur sembilan tahun lalu. Untuk meredakan ketegangan di antara warga, Gubernur Soekarwo membentuk Tim Kajian Kelayakan Teknis dan Sosial yang terdiri atas puluhan peneliti ITS.
ARTIKA RACHMI FARMITA
Koreksi pada Rabu 1 Mei 2016, pukul 17.00.
Pada paragraf keenam, kutipan semula berbunyi: “Penurunan tanah dan retakan akan semakin diperparah kalau tetap dilakukan pengeboran.” Menjadi: “Penurunan tanah dan retakan akan semakin memperparah keadaan.”