TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif meminta Mahkamah Konstitusi peka terhadap pemberantasan korupsi. Komentar ini mengacu pada putusan MK terhadap uji materi Pasal 263 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diajukan istri buron kasus hak tagih Bank Bali Djoko S. Tjandra, Anna Boentaran.
"KPK belum membaca putusan secara menyeluruh. Nanti akan disampaikan pendapat resminya," kata Laode di Gedung KPK, Selasa, 17 Mei 2016.
Pada Senin, 16 Mei, MK melansir putusan yang mengoreksi praktek hukum yang tak sesuai dengan isi Pasal 263 ayat 1 itu. Pasal tersebut mengatur peninjauan kembali (PK) adalah hak terpidana dan ahli waris, kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan.
Pasal ini sama sekali tak menyebut hak pengajuan PK oleh jaksa penuntut. Mahkamah Konstitusi menyatakan semua tafsir lain dari isi gamblang Pasal 263 ayat 1 melanggar konstitusi. Padahal selama ini jaksa juga kerap mengajukan PK.
Laode mengatakan sudah membaca berbagai respons, terutama dari kalangan jaksa, soal putusan itu. KPK sendiri, menurut dia, kerap mengajukan PK terhadap putusan kasasi kasus korupsi.
Salah satunya yang tengah berproses adalah PK atas putusan praperadilan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo. "Sudah diajukan, tinggal menunggu keputusan dan respons Mahkamah Agung," kata Laode.
Putusan MK dituding tak senada dengan pemberantasan korupsi karena menutup kemungkinan jaksa mengajukan PK terhadap putusan kasasi atau berkekuatan hukum tetap yang menguntungkan koruptor. Putusan tersebut berarti mengikhlaskan vonis kasasi ringan, bahkan bebas, terhadap koruptor.
Namun, dalam pertimbangannya, MK tetap membuka peluang jaksa mengajukan upaya hukum luar biasa terhadap putusan kasasi. Meski demikian, upaya ini bukan melalui peninjauan kembali, melainkan kasasi demi kepentingan hukum.
FRANSISCO ROSARIANS