TEMPO.CO, Yogyakarta - Selama ini, besaran nilai uang kuliah mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ditetapkan sesuai dengan data kondisi ekonomi keluarga yang diserahkan oleh mahasiswa. “Salah satu indikator validitasnya ialah nilai tagihan listrik rumah milik orang tua mahasiswa,” ujar Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UGM Iwan Dwiparahasto, Senin, 17 Mei 2016.
Bahkan, katanya, jika ada kekeliruan data, mahasiswa bisa mengajukan penurunan besaran nilai uang kuliah. Pada 2014, dia mencatat, terdapat 415 mahasiswa yang diperbolehkan mengajukan penurunan besaran nilai uang kuliah. Sedangkan pada 2015, jumlahnya naik menjadi 717 mahasiswa.
Iwan mengklaim, selama ini data statistik menyebut, hanya 35 persen mahasiswa UGM yang melaporkan pendapatan keluarganya di atas angka Rp 7 juta. Selebihnya, sekitar 65 persen, di bawah Rp 7 juta.
Dia mencatat, besaran nilai biaya kuliah yang harus dibayar mahasiswa S-1, S-2, S-3, dan vokasi setara dengan 40 persen kebutuhan belanja tahunan kampus. Biaya kuliah semua mahasiswa S-1 hanya setara dengan 10 persen belanja tahunan UGM. "Kekurangan 60 persen anggaran belanja kami tutup dengan dana dari pemerintah dan hasil kerja sama," ujar Iwan.
Berdasar data Direktorat Kemahasiswaan, Iwan mencontohkan, pada 2015, terdapat 2.905 mahasiswa baru yang membayar uang kuliah nol rupiah karena menerima beasiswa bidik misi, uang kuliah level satu, atau Rp 500 ribu per semester, dan uang kuliah level dua Rp 1 juta. "Setara dengan 30,45 persen jumlah semua mahasiswa baru," ucapnya.
Pada 2014, dia mencatat, terdapat 415 mahasiswa yang diperbolehkan mengajukan penurunan nilai uang kuliah tetap. Pada 2015, jumlahnya naik menjadi 717 mahasiswa.
Rektor UGM Profesor Dr Dwikorita Karnawati mengatakan UGM tahun ini tidak menaikkan nilai uang kuliah. “Nilai uang kuliah tahun ini tidak mengalami kenaikan dibanding tahun lalu,” katanya. Selain itu, tidak ada kewajiban pembayaran uang pangkal bagi mahasiswa baru dari jalur ujian mandiri. "Ketentuan ini sudah ditetapkan sejak 28 April lalu."
Penjelasan ini menjawab tudingan mahasiswa dalam aksi protes di gedung rektorat kampus, 2 Mei 2016. Mahasiswa menuding UGM melakukan komersialisasi pendidikan. UGM selama ini dikenal dengan sebutan kampus wong cilik.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM