TEMPO.CO, Yogyakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menyesalkan pernyataan pemerintah yang telah menutup pintu negosiasi berkaitan penolakan rencana pembangunan bandar udara di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo oleh sebagian warga. LBH menilai pernyataan tersebut bersifat intimidatif. Negosiasi hanya dibuka berkaitan dengan pembahasan keberatan atas nilai ganti rugi hasil survei dari tim penilai.
“Kalau warga Temon tidak mau melepas hubungan hukum dengan tanahnya, maka tanahnya tidak bisa dieksekusi,” kata Kepala Departemen Advokasi LBH Yogyakarta Rizky Fatahillah saat dihubungi Tempo, Ahad, 15 Mei 2016.
Sebelumnya, Sekretaris Daerah Kulon Progo Astungkoro menegaskan pemerintah telah menutup pintu negosiasi terhadap warga Temon yang berkaitan dengan penolakan rencana pembangunan bandar udara di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo.
Lantaran saat ini tim appraisal telah selesai melakukan survei dan pencocokan lahan serta akan mengumumkan nilai tanah dan aset warga terdampak pada 14 Juni 2016 mendatang. “Kalau soal setuju atau tidak setuju pembangunan bandara mestinya sebelum IPL (izin penetapan lokasi) dikeluarkan,” kata Astungkoro saat dihubungi Tempo, Ahad, 15 Mei 2016.
Dia membantah soal kemungkinan tindakan penggusuran terhadap warga yang menolak melepaskan tanahnya untuk proyek pembangunan bandara. Hingga saat ini, warga terdampak yang bergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) tetap kukuh menyatakan menolak pembangunan bandara di Temon tanpa syarat.
“Bukan menggusur. Tapi proses itu memang diatur dalam undang-uandang (UU Nomer 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum),” kata Astungkoro.
Negosiasi akan dilakukan ketika ada warga yang keberatan dengan nilai ganti rugi hasil survey tim appraisal. Warga bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Kulon Progo. Ganti rugi juga akan diberikan kepada warga yang menolak bandara. “Karena warga penolak tidak bersedia mengikuti proses konsulrasi publik dari awal, dianggap menerima besaran ganti rugi,” kata Astungkoro.
Berdasarkan hasil survey tim appraisal, ada 4.300 bidang terdampak bandara. Angka tersebut bertambah dari data Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang semula mencatat hanya 3.444 bidang lahan terdampak. Penambahan bidang lahan tersebut, menurut Astungkoro karena diitung dari jumlah petani penggarap di atas bidang lahan milik Pakualaman. “Karena petani penggarap juga mendapat ganti rugi berdasarkan garapannya,” kata Astungkoro yang kini tengah menyiapkan persyaratan administrasi lahan relokasi.
Rizky mengingatkan, tanah yang disiapkan untuk relokasi lahan pun tidak sebanding dengan hubungan hukum kepemilikan warga atas lahan sebelumnya. Lantaran, baik tanah kas desa maupun lahan Pakualaman tidak bisa diubah statusnya menjadi hak milik warga.
Apabila warga tinggal di tanah Pakualaman, maka hanya sebatas berstatus magersari. “Tanah kas desa juga dulunya tanah Pakualaman. Kalau suatu saat digunakan untuk kepentingan umum lainnya, warga terancam pindah lagi,” kata Rizky.
PITO AGUSTIN RUDIANA